Kamis 12 Oct 2017 16:20 WIB

Oposisi Kenya akan Boikot Pemilihan Presiden

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Pendukung partai oposisi membawa poster tokoh oposisi Kenya Raila Odinga dalam unjukrasa memprotes hasil pemilu Kenya di Nairobi, Kenya.
Foto: Daniel Irungu/EPA
Pendukung partai oposisi membawa poster tokoh oposisi Kenya Raila Odinga dalam unjukrasa memprotes hasil pemilu Kenya di Nairobi, Kenya.

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Pihak oposisi Kenya akan memboikot pemungutan suara ulang pemilihan presiden yang akan terjadi dalam waktu kurang dari dua pekan mendatang. Hal ini menyebabkan negara Afrika timur tersebut mengalami krisis politik yang parah.

Dilansir dari The Guardian, Rabu (11/10), Raila Odinga, pemimpin National Super Alliance (NASA), mengatakan tidak ada prospek pemilihan yang kredibel pada pemungutan suara ulang tersebut. Karena itu dia dipaksa untuk menarik diri dari pemunguan suara yang ditetapkan pada 26 Oktober mendatang.

Langkah Odinga terjadi setelah serangkaian protes oposisi ditujukan untuk memaksa pemerintah melakukan konsesi. Pada Senin, polisi membubarkan demonstrasi oposisi di Nairobi dengan gas air mata.

"Kami sekarang melihat periode krisis yang berkepanjangan, sebuah kebuntuan yang sangat buruk, yang akan meningkatkan protes dari oposisi yang kemungkinan akan mendapat respon brutal dari polisi," kata Murithi Mutiga, seorang analis Krisis Internasional di Nairobi.

Di antara reformasi yang diminta Odinga adalah penggantian pemasok peralatan yang digunakan untuk mentransmisikan hasil pemilihan. Ia juga meminta penggantian pejabat pemilihan yang diklaim oposisi terlibat dalam kecurangan pemilihan.

Boikot yang terancam berisiko menimbulkan konsekuensi serius bagi perekonomian terbesar di Afrika timur dan juga akan meningkatkan ketakutan akan kekerasan. Lebih dari 30 orang tewas dalam demonstrasi setelah pemilihan bulan Agustus. Korban tewas dikarenakan tembakan polisi.

Pada sebuah konferensi pers Selasa, Odinga mengatakan, partainya telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada niat dari pihak Komisi Pemilhan Umum untuk melakukan perubahan pada operasi dan personilnya untuk memastikan bahwa ilegalitas dan penyimpangan yang menyebabkan pembatalan hasil pemilu 8 Agustus lalu tidak terjadi lagi.

"Semua indikasi adalah bahwa pemilihan yang dijadwalkan pada 26 Oktober akan lebih buruk dari yang sebelumnya," kata politisi berusia 72 tahun itu.

Pemilu Agustus lalu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan kegagalan prosedural dan kurangnya transparansi sehingga hasilnya tidak sah. Odinga, yang telah dikalahkan dalam dua pemilu sebelumnya meminta pendukung untuk melakukan demonstrasi dengan menggunakan slogan "tidak ada reformasi, tidak ada pemilihan".

Serangkaian pemantau pemilu dan pejabat barat meminta orang-orang yang kalah dalam pemilihan Agustus untuk menerima kekalahan, dan mengatakan bahwa mereka tidak menemukan bukti manipulasi.

Namun pejabat oposisi menggambarkan hasil pemilihan sebagai kecurangan dan mengklaim bahwa Odinga adalah pemenang yang sah. Odinga mengklaim hasil pemungutan suara elektronik telah diretas dan dimanipulasi untuk kepentingan pejawat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement