Kamis 02 Nov 2017 09:03 WIB

Militan ISIS Asal Indonesia Ditangkap di Marawi Filipina

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Situasi di Kota Marawi, Filipina, awal Juni 2017.
Foto: AP/Aaron Favila
Situasi di Kota Marawi, Filipina, awal Juni 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Seorang pria Indonesia, yang dilaporkan berperan dalam serangan 2016 di Jakarta, telah ditangkap di dekat kota Marawi, Filipina selatan, di mana militan yang setia kepada ISIS berperang melawan militer Filipina selama lima bulan.

Diansir dari Aljazirah, Kamis (2/11) Muhammad Ilham Syaputra ditangkap pada Rabu saat mencoba melarikan diri dari sebuah distrik di Marawi, di mana beberapa militan kelompok Maute bersembunyi. Muhammad Ilham Syaputra dilaporkan berusaha untuk menghindari pihak berwenang dengan berenang menyeberangi Danau Lanao ke sebuah kota yang berdekatan dengan Marawi.

Kepala polisi di Lanao del Sur, John Guyguyon mengatakan Muhammad Ilham Syaputra berasal dari Sumatra utara, Indonesia. Dia datang ke Filipina pada awal November 2016 untuk mengambil bagian dalam pengepungan Marawi yang direncanakan. Polisi menangkap tersangka dengan barang bukti pistol kaliber .45, beberapa paspor Indonesia, mata uang dan perhiasan.

Selama diinterogasi, Muhammad Ilham Syaputra juga mengaku telah berperan dalam serangan 2016 di kawasan Jakarta Pusat yang menyebabkan tujuh orang tewas, termasuk pelaku penyerangan. Muhammad Ilham Syaputra dilaporkan berada di antara puluhan militan asing dari negara tetangga Malaysia dan Indonesia, serta dari negara-negara Arab, yang datang ke Marawi untuk bergabung dalam pertarungan tersebut. Dalam beberapa pekan terakhir, polisi juga membunuh tersangka Mahmud Ahmad, seorang dokter yang berasal dari Malaysia.

Guyguyon mengatakan penangkapan tersebut merupakan pukulan besar bagi militan yang terkait ISIS, meskipun dia memperingatkan pihak lain masih dapat melakukan serangan balasan. Dalam sebuah pernyataan, gubernur Lanao del Sur,Zia Alonto Adiong memuji polisi dan penduduk setempat atas penangkapan tersebut.

"Penangkapan warga negara Indonesia yang terlibat dalam pengepungan Marawi pada pagi tanggal 1 November memvalidasi posisi bahwa partisipasi warga sipil sangat penting dalam usaha bersama kita untuk mengamankan masyarakat kita dari unsur-unsur teroris," kata Adiong.

Pengepungan Marawi dimulai pada tanggal 23 Mei ketika pasukan keamanan mencoba untuk melayangkan sebuah surat perintah penangkapan terhadap Isnilon Hapilon, pemimpin kelompok bersenjata Abu Sayyaf, dan pemimpin negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Asia Tenggara.

Alih-alih melepaskan senjata mereka, Hapilon dan militannya membentuk aliansi dengan Grup Maute setempat yang dipimpin oleh Omarkhayam Maute dan saudara laki-lakinya. Mereka mengambil alih kota itu. Para militan telah merencanakan pengepungan tersebut lebih dari setahun.

Lebih dari 1.000 kombatan, termasuk pejuang asing, serta warga sipil tewas dalam pertempuran tersebut. Sebanyak 600 ribu orang juga harus mengungsi. Pada 23 Oktober, Presiden Rodrigo Duterte mengumumkan pertarungan setelah kematian Hapilon dan Omarkhayam. Saudara laki-laki Maute lainnya terbunuh atau ditangkap, sementara orang tua mereka juga telah ditahan dan didakwa karena membantu para militan. Walaupun pertempuran telah berakhir, namun analis memperingatkan penyerang bisa kembali.

Warga juga mengeluhkan pemboman yang menargetkan teroris terlalu berlebihan. Mereka memperingatkan penghancuran tersebut dapat memicu sentimen anti-pemerintah di kalangan penduduk setempat yang mengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement