Kamis 07 Dec 2017 15:19 WIB

AS Minta Israel tak Buru-Buru Keluarkan Tanggapan Resmi

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) meminta Israel tidak segera mengeluarkan tanggapan resmi terhadap pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota negara tersebut. Menurut dokumen Departemen Luar Negeri AS yang dilihat oleh Reuters pada Rabu (6/12), Washington saat ini sedang melihat potensi ancaman terhadap fasilitas dan warga AS setelah kebijakan itu diumumkan.

"Saya menyadari Anda akan menyambut baik berita ini di depan umum, tapi saya meminta Anda menahan tanggapan resmi," tulis dokumen tertanggal 6 Desember tersebut, yang ditujukan kepada para diplomat di Kedutaan Besar AS di Tel Aviv untuk disampaikan kepada pejabat Israel.

 

"Kami pikir akan ada perlawanan terhadap keputusan ini di Timur Tengah dan di seluruh dunia. Kami masih menilai dampak dari keputusan ini terhadap fasilitas dan personel AS di luar negeri," kata dokumen tersebut.

 

Dokumen Departemen Luar Negeri AS yang kedua yang dilihat oleh Reuters, yang juga tertanggal 6 Desember, mengatakan lembaga tersebut telah membentuk satuan tugas (satgas) internal. Satgas ini dibentuk untuk melacak perkembangan yang terjadi di seluruh dunia pascapengakuan AS terhadap Yerusalem.

 

Seorang pejabat AS yang berbicara secara anonim mengatakan mereka menetapkan standar membentuk satgas yang siap kapan pun ada potensi ancaman keamanan personil pemerintah AS atau warga AS. Departemen Luar Negeri AS hingga saat ini belum memberikan komentar langsung mengenai kedua dokumen tersebut.

 

Trump membalikkan kebijakan AS yang telah diterapkan selama beberapa dekade, dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia dinilai telah melemahkan upaya perdamaian Timur Tengah dan telah mengecewakan sejumlah negara.

 

Dokumen pertama juga mengemukakan, poin pembicaraan ditujukan kepada pejabat di Konsulat Jenderal AS di Yerusalem, Kedutaan Besar AS di London, Paris, Berlin, dan Roma, serta misi AS untuk Uni Eropa di Brussels.

 

Dalam pesannya untuk ibukota-ibukota negara Eropa, dokumen tersebut meminta pejabat Eropa berpendapat keputusan Trump tidak bersifat final yang perlu dipaksakan kepada Israel dan Palestina dalam kesepakatan damai apa pun.

 

"Anda berada dalam posisi kunci untuk mempengaruhi reaksi internasional terhadap pengumuman ini dan kami meminta Anda memperkuat kenyataan Yerusalem masih memiliki masalah status antara Israel dan Palestina, dan pihak-pihak tersebut harus menyelesaikan dimensi kedaulatan Israel di Yerusalem selama mereka bernegosiasi," tulis dokumen itu.

 

"Anda tahu, ini adalah pemerintah yang unik, yang membuat langkah berani, tapi ini adalah langkah berani yang akan dibutuhkan jika upaya perdamaian akhirnya akan berhasil," tambahnya.

 

Status Yerusalem, tempat suci umat Islam, Yahudi, dan Kristen, merupakan salah satu hambatan terbesar untuk mencapai kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Israel menganggap Yerusalem sebagai ibu kota mereka dan menginginkan semua kedutaan besar berbasis di sana.

 

Sementara warga Palestina menginginkan ibu kota negara merdeka untuk berada di sektor timur kota. Wilayah ini dikuasai Israel dalam perang Timur Tengah 1967 dan dicaplok dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui secara internasional.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement