Selasa 19 Dec 2017 16:09 WIB

Keberadaran Wartawan Reuters Misterius, Myanmar Bungkam

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Aung San Suu Kyi
Foto: EPA/Nicolas Asfouri
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sudah sepekan dua wartawan Reuters ditahan Pemerintah Myanmar, sejak Selasa (12/12) lalu. Namun belum ada kabar mengenai di mana keduanya  ditahan saat pihak berwenang melakukan penyelidikan mengenai apakah mereka telah melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial di negara tersebut.

Wa Lone (31 tahun) dan Kyaw Soe Oo (27), ditangkap pada Selasa (12/12) malam lalu setelah diundang makan malam dengan petugas polisi di pinggiran kota terbesar Myanmar, Yangon. "Kami dan keluarga mereka terus ditolak untuk mendapatkan akses terhadap mereka atau mendapatkan informasi paling dasar tentang kesejahteraan dan keberadaan mereka," ujar Presiden dan Pemimpin Redaksi Reuters, Stephen J. Adler, dalam sebuah pernyataan, Selasa (19/12).

"Wa Lone dan Kyaw Soe Oo adalah wartawan yang memainkan peran penting dalam menyoroti berita tentang kepentingan global, dan mereka tidak bersalah atas kesalahan apapun," tambah dia.

Pada Ahad (17/12), juru bicara Pemerintah Myanmar, mengatakan Presiden sipil Myanmar, Htin Kyaw, sekutu dekat pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, telah memberi wewenang kepada polisi untuk melanjutkan kasus terhadap para wartawan.

Persetujuan dari kantor presiden diperlukan sebelum proses pengadilan dimulai dalam kasus-kasus berdasarkan Undang-Undang Rahasia Resmi, yang mengancam hukuman penjara maksimal 14 tahun.

Kedua jurnalis tersebut telah meliput krisis yang telah membuat sekitar 655 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari operasi militer yang sengit terhadap militan di Negara Bagian Rakhine.

AS, Kanada, Inggris, dan PBB, serta sejumlah kelompok wartawan dan kelompok hak asasi manusia (HAM), telah mengkritik penangkapan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai serangan terhadap kebebasan pers dan meminta Myanmar membebaskan kedua wartawan tersebut.

Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini menggambarkan penangkapan tersebut sebagai penyebab keprihatinan yang nyata. "Kebebasan pers dan media adalah fondasi dan landasan demokrasi," ujar Mogherini.

Media independen Myanmar telah tumbuh cukup pesat sejak penyensoran junta dicabut pada 2012. Kelompok HAM berharap kebebasan pers akan berlanjut setelah peraih Nobel perdamaian Suu Kyi berkuasa tahun lalu.

Namun, kelompok advokasi mengatakan kebebasan berbicara justru telah terkikis sejak Suu Kyi menjabat. Penangkapan jurnalis semakin banyak, seiring dengan pembatasan pelaporan di Negara Bagian Rakhine.

Wakil Direktur Kementerian Informasi Myanmar, Myo Nyunt, mengatakan kasus Wa Lone dan Kyaw Soe Oo tidak ada hubungannya dengan kebebasan pers. Ia menjelaskan, wartawan masih memiliki kebebasan untuk menulis dan berbicara.

Kementerian Informasi Myanmar mengatakan pekan lalu, kedua wartawan tersebut secara ilegal telah memperoleh informasi dengan maksud untuk membaginya dengan media asing lain. Pihak berwenang tidak mengizinkan mereka untuk melakukan kontak dengan keluarga, pengacara, atau Reuters sejak penangkapan mereka.

Komisi Ahli Hukum Internasional (ICJ) meminta pihak berwenang untuk segera mengungkapkan keberadaan kedua wartawan tersebut. "Semua tahanan harus diizinkan untuk berkomunikasi dengan pengacara dan anggota keluarga," kata Frederick Rawski, Direktur Regional Asia-Pasifik ICJ.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement