Selasa 09 Jan 2018 12:33 WIB

Ratusan Kelelawar Jatuh dari Langit Australia

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Kelelawar (Ilustrasi)
Kelelawar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Lebih dari 200 kelelawar kehilangan nyawa akibat gelombang panas yang terjadi di Australia Selatan. Saat suhu naik menjadi 11,5 derajat Fahrenheit (44,2 derajat Celcius) di Campbelltown, Australia, koloni rubah kelelawar terbang yang tinggal di dekat stasiun kereta kota merasakan efeknya.

Para relawan berjuang untuk menyelamatkan kelelawar yang kepanasan itu, namun setidaknya sekitar 240 kelelawar yang kebanyakan bayi mati. "Mereka pada dasarnya mendidih. Gelombang panas mempengaruhi otak mereka, otak mereka seperti digoreng dan mereka menjadi tidak koheren," ujar Ryan menajer koloni untuk kelelawar Campbelltown.

Tim penyelamat bersama dengan Help Save the Wildlife dan Bushlands di Campbelltown mengunggah dalam akun Facebook mereka detail keadaan tersebut. Dalam postingan itu mereka menuliskan, "Ketika bangkai kelelawar itu ditemukan dan diletakkan di satu tempat, kami menghitung telah mencapai 200. Hal ini tidak termasuk ratusan yang masih dibiarkan di pepohonan yang tidak terjangkau. Sayangnya beberapa kelelawar dewasa juga ditemukan tidak bernyawa."

Koloni rubah kelelawar terbang di Campbelltown sendiri masuk dalam spesies Pteropus poliocephalus atau lebih dikenal dengan rubah terbang berkepala abu-abu. Sayap mereka bisa membentang lebih dari 3,3 kaki (satu meter) dan memiliki berat lebih dari 2,2 lbs (satu Kg). Mereka berperan sebagai penyerbuk penting karena kelelawar kebanyakan memakan nektar, serbuk sari, dan buah.

Ryan mengatakan suhu yang lebih dari 86 derajat F (30 derajat C) bisa berbahaya bagi rubah terbang muda karena tubuh mereka bisa kehilangan kemampuan untuk mengatur suhu tubuh. Untuk koloni Campbelltown sendiri Ryan menyatakan kurangnya air dan tempat bernaung memperburuk keadaan mereka.

Akhir-akhir ini panas di wilayah Australia Selatan telah jauh melampaui 86 derajat F. Sebagian besar New South Wales bahkan dilaporkan mengalami gelombang panas yang parah menurut Australian Bureau of Meteorology. Pada 6 Januari sebuah stasiun cuaca yang terletak di pinggiran Sidney, Penrith mencatat suhu mencapai 116,78 derajat F (47,1 derajat C) dan suhu terpanas di wilayah metro Sydney sejak 1939 ketika sebuah stasiun di dekatnya merekam suhu mencapai 118,04 derajat F (47,8 derajat C).

Panas yang paling ekstrem diperkirakan akan mereda dalam beberapa hari mendatang meskipun para ahli meteorologi mengatakan gelombang panas dengan intensitas rendah akan tetap bertahan di sebagian besar negara bagian Queensland, New South Wales bagian utara dan Australia Tengah bagian selatan setidaknya sampai Rabu (10/1) mendatang.

"Australia sendiri tidak asing dengan panas yang ekstrem namun perubahan iklim saat ini cenderung mengarah pada peluang gelombang panas yang semakin banyak," ujar Gerald Meehl, kepala bagian penelitian perubahan iklim di Pusat Penelitian Atmosfer A.S (NCAR), seperti dilansir dari Live Science.

Pemanasan ini dikatakan terjadi di bawah kerangka suhu latar belakang yang lebih hangat, sehingga gelombang panas alami menjadi lebih intens. Meehl menyatakan pada dekade pertama abad ke-21, ada dua rekor suhu maksimum harian yang ditetapkan untuk setiap suhu harian minimum.

Dengan kata lain catatan panas saat ini telah melampaui rekaman yang ada dengan perbandingan dua banding satu. Rasio ini kedepannya terus bertambah, pada tahun 2017 perbandingan yang terjadi adalah lima banding satu.

"Diproyeksikan hal ini akan terus meningkat," ujar Meehl. Gelombang panas Australia saat ini dikatakan serupa dengan yang dialami benua itu pada 2013. Menurut Biro Meteorologi Australia, musim panas tersebut tercatat yang terpanas dari September hingga Maret.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement