Sabtu 03 Feb 2018 04:18 WIB

PBB Minta Myanmar Segera Bebaskan Dua Jurnalis Reuters

Pemimpin Redaksi Reuters mengecam keras penangkapan awak redaksinya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Bilal Ramadhan
Dalam foto file bulan September 2017, seorang pria Muslim Rohingya menggendong anak bayinya yang tewas akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, ketika menyelematkan diri dari genosida militer Myanmar.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang pria Muslim Rohingya menggendong anak bayinya yang tewas akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, ketika menyelematkan diri dari genosida militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, pada Jumat (2/2), meminta otoritas Myanmar untuk segera membebaskan dua jurnalis Reuters yang ditahan. Permintaan Dewan HAM PBB ini diutarakan setelah jaminan kedua jurnalis tersebut ditolak.

"Kami mengulangi seruan agar mereka segera dibebaskan dan tuduhannya digugurkan. Kami khawatir dengan erosi kebebasan berekspresi yang serius di Myanmar," ujar juru bicara Dewan HAM PBB Rupert Colville.

Dua jurnalis Reuters bernama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo ditangkap dan ditahan otoritas Myanmar pada pertengahan Desember 2017. Keduanya ditangkap karena dituding memperoleh informasi rahasia terkait krisis di negara bagian Rakhine.

Informasi yang diperoleh keduanya disebut hendak dibagikan kepada media-media asing. Menurut laporan, informasi rahasia yang diperoleh dua jurnalis Reuters didapatkan dari dua petugas polisi yang berdinas di Rakhine.

Setelah penangkapan tersebut, Kementerian Informasi Myanmar mengatakan, kedua jurnalis Reuters dan dua polisi yang membocorkan informasi rahasia menghadapi tuntutan di bawah Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial Inggris. Adapun ancaman hukuman maksimalnya yakni dipenjara selama 14 tahun.

Pemimpin Redaksi Reuters, Stephen J. Adler mengecam keras penangkapan awak redaksinya. "Kami sangat marah atas serangan terang-terangan terhadap kebebasan pers ini. Kami meminta pihak berwenang (Myanmar) segera membebaskan mereka," ujarnya Desember tahun lalu.

Krisis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, memang telah menjadi sorotan dunia internasional. Krisis tersebut menyebabkan lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

Amerika Serikat dan PBB telah menyebut militer Myanmar melakukan praktik pembersihan etnis terhadap Rohingya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement