Jumat 16 Feb 2018 22:18 WIB

Wabah Difteri Bayangi Kamp Pengungsi Rohingya

Warga Rohingya yang terkena difteri padati klinik.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: AP/Dar Yasin
Dalam foto file bulan September 2017, seorang anak Muslim etnis Rohingya menangis ketika berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Noor Begum duduk disamping putranya, Mohammad Farooq, di sebuah klinik kesehatan dekat kamp pengungsi Kutupalong, Bangladesh.

 

Mohammad menderita difteri, yaitu infeksi bakteri serius dengan gejala umum seperti demam tinggi, sakit tenggorokan, kesulitan menelan, dan pembengkakan leher.

"Dia demam dan dia muntah, dia tidak bisa makan karena sakit," kata Noor, yang melarikan diri dari Desa Ludang Para di Buthidaung, Myanmar, kepada Aljazirah.

Di klinik tersebut, Mohammad diberi antitoksin, obat yang menghambat produksi toksin yang dihasilkan oleh bakteri difteri. "Dia sekarang lebih baik dan saya sangat berterima kasih kepada para dokter. Mereka sangat memperhatikan kami dan kami sangat bahagia," kata Noor sambil menatap anaknya yang terlihat lemah.

Namun tidak semua orang beruntung seperti Mohammad. Sedikitnya 38 warga Rohingya telah meninggal dunia sejak penyakit ini pertama kali mewabah di kamp tiga bulan lalu.

Dari hampir 4.500 orang yang dirawat karena penyakit itu oleh Dokter Lintas Batas selama periode tersebut, hanya 400 orang yang telah diberi antitoksin. Obat ini pasokannya terbatas, tidak hanya di Bangladesh tapi secara global.

Dokter mengatakan antitoksin diberikan untuk pasien dengan kasus paling parah yang ditemukan di kamp. Pasien tersebut masih perlu minum antibiotik selain antitoksin. Sementara mereka yang sakit ringan hanya diberi antibiotik.

"Sayangnya, kriteria tersebut perlu diperiksa sedikit ketat karena kita harus memberikannya pada kasus yang benar-benar parah," ujar Chiara Burzio, perawat dan petugas medis yang bertanggung jawab atas pusat difteri di kamp, kepada Aljazirah.

Akan tetapi antitoksin juga bisa disertai efek samping yang serius, seperti reaksi alergi yang dikenal sebagai anafilaksis. "Anda bisa mendapatkan reaksi alergi dengan sangat cepat. Jika anafilaksisnya cukup besar, Anda bisa meninggal dalam beberapa menit," jelas Burzio.

Wabah difteri sempat diberantas di Bangladesh. Namun pada November lalu penyakit ini kembali hadir di beberapa kamp pengungsi, tempat banyak warga Rohingya tinggal setelah melarikan diri dari aksi brutal militer Myanmar.

Hampir satu juta warga Rohingya saat ini tinggal di permukiman pengungsi yang luas di Cox's Bazar dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh. Permukiman ini adalah kamp pengungsian paling padat dengan sistem sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Kondisi seperti itu bisa menciptakan tempat berkembang biak bakteri difteri. Bakteri ini umumnya menyebar di antara orang-orang melalui udara yang ditularkan dari bersin, batuk, atau bahkan hanya berbicara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement