Rabu 13 Jul 2011 13:02 WIB

Rakyat Mesir Turun ke Jalan Lagi, Tuntut Kekuasaan Militer Segera Berakhir

Rakyat Mesir kembali turun ke jalan menuntut dewan militer segera mengakhiri kekuasaannya
Foto: Al Jazeera video/Republika Online (Screenshot)
Rakyat Mesir kembali turun ke jalan menuntut dewan militer segera mengakhiri kekuasaannya

REPUBLIKA.CO.ID, Ribuan warga Mesir kembali menggelar aksi menuju ke gedung kabinet di pusat Kairo, Selasa (12/7). Mereka menuntut penggantian dewan militer yang berkuasa.

Barisan massa, mengingatkan pada protes yang berhasil memaksa presiden Hosni Mubarak untuk turun pada 11 Februari. Menanggapi aksi itu, dewan militer memberi peringatkan bahwa mereka akan mengunakan semua cara yang dilegalkan untuk mengakhiri protes di Lapangan Tahrir  yang telah belangsung lima hari itu.

"Turun, turun penguasa militer," seru para demonstran begitu mereka menuju lapangan Tahrir menuju kantor perdana menteri, di mana mereka berdemonstrasi sebelum kembali lagi ke Tahrir.

"Rakyat menginginkan penghapuskan kekuasaan panglima," teriak massa, mengacu pada Mohammet Hussein Tantawi, pemimpin dewan militer yang menjadi menteri pertahanan di era Mubarak selama dua dekade.

Protes yang dimulai Jumat kian mengarah pada upaya penurunan para jenderal yang kini berkuasa. Pemegangan kekuasaan itu juga yang terlama setelah mereka mengambil alih dari Mubarak yang diturunkan oleh aksi protes terhadap kenaikkan harga, kemiskinan, pengangguran dan bertahun-tahun dalam rezim otoriter.

"The people want the removal of the field marshal," they shouted, referring to Mohammed Hussein Tantawi, the military council leader who served as Mubarak's defence minister for two decades.

Mencari Perubahan

Massa di Lapangan Tahrir telah memblokade jalan dan menghentikan para pegawai negeri untuk memasuki kantor-kantor pemerintahan di sudut lapangan. "Dewan militer mengikuti kebijakan serupa yang diterapkan rezim terguling," ujar salah satu pengikut aksi, Mohamed Abdel Waged. Ia berkemah bersama yang lain di Tahrir dalam tenda-tenda dan di bawah kanopi putih.

"Yang kami minta adalah konsistensi. Sejak akhir revolusi telah dilakukan pengadilan lebih bebas dan terbuka terhadap mantan anggota rezim begitu pula polisi dan pejabat yang terlibat dalam pembunuhan pengunjuk rasa selama revolusi 18 hari." ujarnya.

Rakyat rupanya begitu frustrasi dengan langkah hukum lambat pada kasus-kasus yang menyangkut pembunuhan pengunjuk rasa maupun kejahatan yang dilakukan sosok-sosok dalam rezim Mubarak.

Protes serta kemungkinan bahwa krisis lebih lama telah memukul pasar saham Mesir. Massa marah dengan proses yang dinilai terlalu lama dalam menangani Mubarak yang telah memerinth negara berpenduduk 80 juta jiwa selama tiga dekade dan para pejabat yang telah didakwa dengan korupsi dan pembunuhan demonstran.

Protes juga terjadi di kota-kota pelabuhan Alexandria dan Suez, di mana orang-orang terlihat berkumpul di luar gedung administrasi terusan Suez

Tanggung jawab historis militer

Mubarak yang kini dirawat di rumah sakit di akwasan resort Laut Merah, Sharm el Sheikh, dijadwalkan menjalani sidang pada 3 Agustus atas instruksi yang menyebabkan lebih dari 840 pengunjuk rasa terbunuh pada saat revolusi.

Perdana Menteri, Essam Sharaf, telah mencoba meredam dan menenangkan massa dengan menjanjikan kocok ulang kabinet dan memerintahkan perubahan dalam tubuh kementrian dalam negeri. Namun para demonstran menolak proposal tersebut.

Dewan militer mengataan protes-protes telah mengancam ketertiban publik dan keamanan negara.

"Tentara menilai ini adalah peran dan tanggung jawah historis bangsa dan panggilan sebagai warga negara terhormat untuk mementang protes apa pun yang mencegah kehidupan kembali normal," bunyi pernyataan yang dibacakan oleh Jendral Mohsen Fangari, anggota dewan militer Mesri.

Tentara telah menjanjikan pemilu parlemen pada September yang disusul dengan pemilu presiden.

Sementara, mantan presiden dn sekretaris jendral Liga Arab, Amr Moussa, mengatakan para demonstran memiliki tuntutan sah.

"Ada gap besar antara revolus dan kecepatan perubahan yang dituntut," ujar Moussa.

Sharaf telah menjanjikan perombakan kabinet dalam satu pekan dan pada Selasa menerima pengunduran diri deputinya Yehia el-Gamal. Namun menurut para demonstran, tawaran itu tak memiliki efek perubahan nyata.

Awal Selasa, sebuah putusan sidang pengadilan menghukum mantan perdana menteri mesir, Ahmed Nazif dengan hukuman penjara selama 1 tahun.

sumber : Al Jazeera
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement