Jumat 20 Apr 2012 11:38 WIB

Subsidi Energi Negara Arab Capai Miliaran Dolar AS

Pejabat perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, tengah memeriksa sebuah pengeboran minyak di Arab Saudi.
Foto: AP
Pejabat perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, tengah memeriksa sebuah pengeboran minyak di Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, PBB -- Negara-negara Arab membuang puluhan miliar dolar AS untuk mensubsidi bensin dan energi. Negara tersebut tidak dapat mencabut pengeluarannya, karena khawatir dapat menyebabkan pemberontakan politik.

Badan PBB untuk program pembangunan (United Nations Development Programme-UNDP) melaporkan pada Ahad ini bahwa enam dari 10 negara dengan anggaran subsidi terbesar berada di Timur Tengah. Urutan dari teratas adalah Kuwait, Arab Saudi, dan Qatar. Penduduk di tiga negara itu membayar kurang dari sepertiga harga dunia untuk bahan bakar mobil dan listrik.

Biaya tahunan Arab Saudi untuk subsidi energi mencapai lebih dari 43 miliar dolar AS dan 4,15 miliar dolar AS untuk Qatar. Sementara Aljazair menghabiskan 10,59 miliar dolar AS untuk hal yang sama, kata laporan tersebut, mengutip International Energy Agency dan dilansir AFP.

Lebih dari 20 miliar dolar AS yang dikeluarkan Mesir mengambil 9,3 persen produk domestik bruto negara itu. Pemerintahnya beralasan, pengeluaran itu untuk melindungi keluarga miskin dari biaya bahan bakar yang tinggi. Namun, laporan itu mengatakan, subsidi tersebut lebih menolong warga kaya dibanding yang miskin.

Di Mesir, 20 persen warga berpenghasilan tertinggi mendapat 33 persen subsidi energi, sedangkan keluarga termiskin hanya mendapat 3,8 persen. Untuk bensin, 93 persen subsidi dinikmati oleh orang kaya. Subsidi tersebut juga mendistorsi ekonomi dengan membuang dan menunda investasi dalam bidang energi terbarukan, kata laporan itu. Konsumsi energi di negara Arab naik tiga kali lipat antara 1980 dan 2008.

Peneliti PBB mengatakan uang subsisdi lebih baik digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pengeluaran sosial. Di 2008, pengeluaran untuk subsidi di Mesir, Yordania, dan Suriah melebihi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. "Memang subsidi energi menguntungkan keluarga berpenghasilan rendah, namun pemerintah harus melihatnya sebagai pemborosan dan alat yang tidak efisien untuk melindungi kaum miskin di Arab," kata laporan itu.

Penelitian itu meriset usaha Yordania sejak 2005, di Suriah sejak 2008, dan di Iran dalam dua tahun terakhir dalam mengurangi subsidi. Namun, ditemukan bahwa bila negara-negara Arab itu menurunkan subsidinya, maka mereka akan menghadapi kesulitan politik yang lebih tinggi.

Yordania menghentikan reformasi harga energi pada Januari 2011 dan laporan mengatakan, "Peristiwa politik yang berlangsung di Mesir yang membuat Presiden Husni Mubarak jatuh cenderung menunda reformasi harga energi yang sangat dibutuhkan di sana." Laporan itu mengatakan subsidi energi di Mesir naik 40 persen dari 2010 ke 2011.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement