Ahad 14 May 2017 21:49 WIB

KTT One Belt One Road yang Disambut dengan Kehati-hatian

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: M.Iqbal
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping (kiri) saat pertemuan bilateral disela-sela menghadiri Belt and Road Forum di Gedung Great Hall of the People, Beijing, Minggu (14/5).
Foto: Antara/Bayu Prasetyo
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping (kiri) saat pertemuan bilateral disela-sela menghadiri Belt and Road Forum di Gedung Great Hall of the People, Beijing, Minggu (14/5).

REPUBLIKA.CO.ID,Pemerintah Cina mengadakan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi One Belt One Road (OBOR), Ahad (14/5) sampai Senin (15/5). Inisiatif ini diajukan Pemerintah Cina sebagai upaya mempromosikan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup 65 negara di Asia dan Eropa dan sekitar 40 persen produk domestik bruto di dunia.

Banyak negara di Asia, termasuk Indonesia dan Pakistan yang memiliki jumlah penduduk padat membutuhkan lebih banyak sokongan dana untuk pembangunan infrastruktur. Kedua negara ini pun sangat bersemangat mengumpulkan investor karena ini juga bertujuan dalam mengerek perekonomian.

Sementara negara-negara berkembang ini secara aktif menarik dana dari negara-negara investor yang bersaing, ada pandangan dan kekhawatiran yang terus-menerus dari negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara lain ihwal ambisi Cina. Khususnya dalam pengaruh politi yang dapat lahir sebagai akibat dari inisiatif tersebut.

Dilansir //The Japan News//, Sabtu (13/5), Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dipimpin Jepang baru saja menyelesaikan pertemuan tahunan tingkat menteri di Yokohama. Dalam pertemuan tersebut, diperkirakan bahwa negara-negara berkembang di Asia membutuhkan lebih dari 26 triliun dolar AS dalam investasi infrastruktur hingga 2030.

Salah satu elemen kunci dalam inisiatif OBOR adalah proyek koridor ekonomi Cina-Pakistan. Kedua negara berencana untuk menghubungkan Cina Barat berbatasan dengan timur laut Pakistan, ke pantai selatan negara bagian Asia Selatan di Laut Arab dengan jalan raya dan kereta api.

Ketika Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi Pakistan dan bertemu dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif, pada April 2015, Xi mengumumkan keterlibatan Cina dalam proyek tersebut dengan investasi menakjubkan mencapai 46 miliar dolar AS. Setelah koridor ini selesai, maka Cina dapat mengangkut barang ke dan dari Timur Tengah, Afrika, dan Eropa dengan rute yang lebih pendek dari pada membawa kapal kargo melewati rute laut yang panjang dan berkelok-kelok melalui Selat Malaka.

Dalam hal ekonomi dan keamanan, Cina melihat manfaatnya dalam memiliki alternatif untuk mengangkut impor minyak yang besar melalui Selat Malaka. Ini akan menjamin pasokan energi yang jauh lebih sedikit. Koridor tersebut juga akan memberi Pakistan bantuan besar dalam membangun lalu lintas yang modern dan efisien, menghubungkan utara dan selatannya, sebuah tantangan domestik yang telah berlangsung lama bagi negara berkembang.

Menteri Keuangan Pakistan Ishaq Dar, yang berada di Jepang untuk menghadiri pertemuan tahunan ADB, mengatakan, ada kesenjangan dalam pembangunan infrastruktur di kawasan Asia dan sebagian besar negara tertinggal. Yang perlu dilakukan adalah fokus sepenuhnya pada konektivitas regional.

Bagian penting dari inisiatif koridor adalah investasi 8 miliar dolar AS dan renovasi jalur kereta api Karachi-Peshawar yang membentang hampir 1.700 kilometer. Dar menuturkan bahwa pemerintahnya terlibat dalam konsultasi dengan Cina untuk menjamin investasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek tersebut.

Di sisi lain, dia tidak lupa menyebutkan Jepang sebagai mitra pembangunan tradisional lainnya. "Kami memiliki banyak jalur rel kereta api lainnya. Kementerian kereta api secara aktif terlibat dengan ADB untuk mempertimbangkan (garis tersebut)," ujar Dar.

Meski demikian, tidak semua pihak setuju dengan keinginan dalam inisiasi OBOR.  Menteri Keuangan dan Pertahanan India Arun Jaitley berhati-hati dalam pertemuan ADB yang membiacarakan OBOR. Menurutnya, India memiiki beberapa keberatan serius mengenai hal itu, utamanya karena masalah kedaulatan.

India, yang memiliki hubungan tegang dengan Pakistan di wilayah Kashmir, melihat unsur-unsur bermasalah dalam proyek tersebut, paling tidak karena dapat menyebabkan pengesahan secara de facto atas kontrol Pakistan atas sebagian wilayah Himalaya yang India dan Pakistan mengklaim kedaulatannya. Tanggapan ini pun sempat membuat  Ishaq Dar geram. Sebab, Dar menilai adanya jalur yang menghubungkan Cina dan kawasan Asia hingga Eropa dianggap akan memberikan dampak luas bagi perekonomian.

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara yang paling mencari investasi untuk proyek kereta api berkecepatan tinggi pertama di kawasan tersebut. Pada 2015, Pemerintah Indonesia telah menunjuk Cina, bukan Jepang, untuk menjadi kontraktor dalam membangun jalur kereta api cepat antar Ibukota Jakarta dan Bandung di Provinsi Jawa Barat.

"Jika inisiatif (One Belt One Road) dapat terbangun, tidak hanya infrastruktur tapi juga kebijakan yang baik, semua negara (yang terlibat) akan menikmati manfaat pembangunan yang berkelanjutan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika berada di Jepang.

Meskipun Jepang dan Indonesia telah sepakat untuk melakukan konsultasi untuk meningkatkan jalur kereta api yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya, mantan direktur pengelola Bank Dunia tersebut mengatakan, Jepang akan terus menjadi mitra yang kuat. Namun, pada saat yang sama, Cina dan semua negara dengan kekuatan ekonomi juga ingin memperkuat hubungan mereka dengan banyak negara, termasuk Indonesia.

Tidak diragukan Indonesia akan membutuhkan sejumlah besar belanja infrastruktur di tahun-tahun mendatang. "Kami tidak melihat ini sebagai kompetisi yang akan menciptakan zero-sum game," ungkap Sri Mulyani.

Beberapa orang berpendapat bahwa ADB dan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB), sebuah institusi yang dipimpin China, dapat saling melengkapi untuk membiayai proposal besar. Lembaga baru seperti AIIB menciptakan tekanan positif bagi ADB untuk terus berinovasi.

Hal tersebut juga dilontarkan Mantan Wakil Menteri Keuangan Jepang Eisuke Sakakibara.  Dia mengatakan kepada bahwa kolaborasi dengan China dan Korea Selatan akan menjadi lebih penting bagi Jepang jika ia ingin memainkan peran penting dalam perencanaan investasi masa depan di Asia. "Jepang harus membangun kerangka kerja yang memungkinkan ADB berkolaborasi dengan AIIB," katanya

sumber : Japan News
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement