Sabtu 01 Jul 2017 17:28 WIB

Filipina Bantah Tutupi Bukti Pembunuhan Tersangka Narkoba

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Ratusan pendukung Presiden Filipina Rodrigo Duterte berkumpul di Rizal Park, Manila. Mereka mendukung perang narkoba Duterte sekaligus memperingati 31 tahun pemberontakan terhadap Ferdinand Marcos.
Foto: AP Photo/Bullit Marquez
Ratusan pendukung Presiden Filipina Rodrigo Duterte berkumpul di Rizal Park, Manila. Mereka mendukung perang narkoba Duterte sekaligus memperingati 31 tahun pemberontakan terhadap Ferdinand Marcos.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Kepolisian Nasional Filipina membantah sejumlah laporan yang mengatakan telah mencoba menghancurkan bukti-bukti terkait pembunuhan para tersangka narkotika. Salah satunya adalah mengirimkan jenazah mereka ke rumah sakit.

Dalam sebuah wawancara, Kepala Polisi Filipina Ronald Dela Rosa mengatakan dalam melakukan operasi pemberantasan narkoba, tidak pernah dilakukan tindakan menghilangkan nyawa. Bahkan, ia menegaskan aparat memiliki kewajiban menyelamatkan nyawa seseorang, sekalipun sedang menghadapi perlawanan.

Polisi selama ini juga mengirimkan para tersangka ke rumah sakit sebagai bagian dari prosedur operasional. Mereka dibawa karena membutuhkan penanganan medis meskipun tidak menutup kemungkinan saat itu kondisi korban sudah kritis atau bahkan tidak bernyawa.

"Kami tak akan membiarkan mereka yang terluka mati begitu saja tanpa memberi pertolongan untuk mencoba menyelamatkan nyawanya, ini adalah yang kami telah lakukan," ujar Ronald dilansir Asian Correspondent, Sabtu (1/7).

Ronald menekankan jika polisi membawa para tersangka ke rumah sakit bukan untuk mencoba memberi pertolongan, maka mereka telah melakukan tindakan terkutuk. Ia meyakini tak ada satu pun aparat keamanan yang ingin melakukan hal itu.

Operasi pemberantasan narkotika menjadi salah satu kebijakan yang diluncurkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Selama ini, ia telah mendapat kritik atas perang melawan narkotika yang diterapkan sejak menjabat sebagai pemimpin negara itu pada 30 Juni 2016 .

Dalam kebijakannya, ia mengizinkan polisi dan aparat keamanan untuk melakukan tindakan keras terhadap orang-orang terkait kejahatan itu. Sejak saat itu, sebanyak 9.000 orang diperkirakan tewas.

Banyak pemimpin negara dan kelompok aktivis HAM yang menyebut mantan wali kota Davao itu justru telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Hal itu karena banyak diantara mereka yang kehilangan nyawa belum terbukti secara hukum sepenuhnya bersalah.

PBB juga mengirimkan penyelidik khusus untuk mengusut kasus dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Pemerintah Filipina. Penyelidik itu adalah Agnes Callamard yang memiliki jabatan sebagai pelapor khusus.

Pemerintah Filipina kemudian mengajukan keberatan terhadap PBB. Hal itu karena kedatangan Callamard dinilai dilakukan tanpa izin resmi, tanpa undangan yang disetujui.

Dari investigasi yang dilakukan oleh sejumlah aktivis serta kantor berita Reuters, kepolisian di distrik Manila disebut telah mengirimkan 301 korban dari para tersangka narkotika. Diantara ratusan jumlah tersebut, hanya dua yang dilaporkan selamat dan sisanya meninggal saat tiba untuk mendapat penanganan medis. Dari hampir semua kasus di mana tersangka kejahatan narkotika tewas, polisi mengatakan terpaksa melepaskan tembakan untuk membela diri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement