Ahad 21 Jan 2018 22:59 WIB

Merkel Sambut Baik Pertemuan UE dan Turki

Pertemuan UE dan Turki ibarat panggung bagi Erdogan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: PA-EFE/KAYHAN OZER
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID,  SOFIA  -- Kanselir Jerman Angela Merkel, Sabtu (20/1) waktu setempat, menyambut baik rencana Bulgaria menjadi tuan rumah pertemuan kerja Uni Eropa (UE)-Turki untuk mencoba memperbaiki hubungan yang tegang dan mengatasi perbedaan sebelum pertemuan puncak yang mungkin terjadi.

Bulgaria, yang saat ini memegang jabatan presiden UE, sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Pemimpin Uni Eropa Jean-Claude Juncker, Donald Tusk dan Antonio Tajani di kota Varna Laut Hitam, kata Perdana Menteri Boyko Borissov kepada wartawan.

"Pertemuan ini adalah kesempatan bagus untuk berbicara dengan Presiden Turki mengenai semua masalah," kata Kanselir Merkel pada sebuah konferensi pers bersama dengan Borissov di Sofia.

Borissov mengatakan, pertemuan tersebut dapat mengatasi kekhawatiram Turki mengenai pembayaran dari Uni Eropa berdasarkan kesepakatan migran, serta memburuknya hubungan antara Ankara dan beberapa negara anggota Uni Eropa, terutama mengenai masalah hak asasi manusia.

Perundingan aksesi Uni Eropa dengan Turki dibekukan pada Desember 2016. Pada Jumat (19/1), menteri urusan luar negeri Turki mengatakan Ankara akan menolak tawaran kemitraan dengan Uni Eropa terkait keanggotaan, memperingatkan bahwa kebuntuan saat ini membuat Turki tidak memilikk alasan untuk mempertahankan kesepakatan migrannya dengan blok tersebut.

Dia juga mengatakan Uni Eropa tidak menghormati semua bagian dari kesepakatan untuk membendung aliran migran ke arah barat dari Turki dengan imbalan bantuan keuangan sebesar tiga miliar euro ke Turki dan dukungan lainnya.

Berbicara di Sofia pekan lalu, Presiden Komisi Eropa Juncker mengatakan Uni Eropa dan Turki tidak akan melihat kemajuan dalam hal tersebut hubungan asalkan Turki menahan wartawan di penjara.

Pihak berwenang di Turki telah memenjarakan lebih dari 50 ribu orang dan menutup sekitar 130 media dalam sebuah tindakan keras pasca sebuah kudeta militer yang gagal pada 2016.

Turki, pekan lalu, mempekerjakan kembali lebih dari 1.800 pegawai sipil yang dipecat setelah kudeta yang gagal pada 2016, karena mereka tidak memiliki hubungan dengan jaringan seorang ulama yang dituduh mendalangi kudeta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement