Rabu 16 Jun 2010 21:01 WIB

Inggris Minta Maaf atas Insiden "Ahad Berdarah"

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Perdana Menteri Inggris, David Cameron pada Selasa (15/6) meminta maaf atas pembunuhan Ahad Berdarah, salah satu hari tergelap dalam sejarah Irlandia Utara, dengan menyebutnya "tidak adil dan tidak dibenarkan".

Dia mengatakan tak satupun dari korban bersenjata dan tentara tak memberikan peringatakan sebelum melancarkan tembakan.

Pernyataan Cameron merujuk kepada satu laporan yang telah lama dinanti-nantikan tentang penembakan 13 warga sipil oleh tentara Inggris pada tahun 1972.

"Tak ada keraguan ... apa yang terjadi pada Ahad Berdarah tak adil dan tak dibenarkan. Itu salah," kata PM Inggris kepada parlemen di London seperti dilaporkan AFP.

"Sejumlah anggota pasukan bersenjata kita berbuat salah," ujarnya. "Pemerintah bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pasukan bersenjata. Dan untuk ini, atas nama pemerintah, atas nama negara, saya menyampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya."

Perminaan maaf Cameron disambut gembira oleh keluarga dan ribuan pendukung yang mendengarkannya di layar raksasa di Londonderry, tempat penembakan terjadi.

Di tengah-tengah acara itu di kota kedua Irlandia Utara, sanak-saudara korban menyuarakan rasa suka atas akhir dari kampanye 38 tahun memulihkan nama baik para anggota keluarga mereka.

"Sekarang dunia mengetahui kebenaran," ujar Liam Wray. "Jim dibunuh, Jim tak bersalah".

Laporan yang disiarkan tersebut mendapati Jim Wray ditembak di bagian belakang, mungkin ia tergeletak karena terluka.

Pembunuhan-pembunuhan itu, ketika tentara Inggris melepaskan tembakan ke arah pawai hak sipil di Londonderry, merupakan salah satu insiden paling kontroversial dalam sejarah Irlandia Utara, dan ada kekhawatiran laporan setebal 5.000 halaman itu bisa membuka lagi luka-luka lama.

Lebih 3.500 orang tewas selama masa-masa sulit itu, yang diakhiri persetujuan perdamaian 1998, tetapi emosi masih tetap tinggi di bagian Irlandia Utara mengenai sejarah kekerasannya, yang melibatkan pengikut Katolik dan Protestan.

Penyelidikan yang memakan waktu 12 tahun dan mengeluarkan biaya 275 juta dolar AS (230 juta euro) bertujuan untuk menggambarkan kejadian-kejadian tersebut secara gamblang.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement