Senin 25 Dec 2017 06:27 WIB

Kecaman Dunia dan Negara Adidaya yang Terkucil

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Peserta Aksi Bela Palestina dari Pemuda Pasar Kliwon meginjak bendera Israel sambil membentangkan bendera Palestina. Hal ini sebagai bentuk kekesalan atas agresi militer Israel yang semakin meningkat pasca pernyataan Presiden Amerika Donald Trump pada Jumat (15/12).
Foto: Republika/Andrian Saputra
Peserta Aksi Bela Palestina dari Pemuda Pasar Kliwon meginjak bendera Israel sambil membentangkan bendera Palestina. Hal ini sebagai bentuk kekesalan atas agresi militer Israel yang semakin meningkat pasca pernyataan Presiden Amerika Donald Trump pada Jumat (15/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan kontroversial dari salah seorang pemimpin negara Donald Trump datang pada 6 Desember lalu. Presiden Amerika Serikat (AS) itu secara sepihak mengakui Yerusalem adalah Ibu Kota Israel.

Pria berusia 71 tahun itu juga mengatakan rencana AS segera memulai proses pemindahan kedutaan besar yang saat ini berada di Tel Aviv. Trump mengajak negara-negara lainnya mengambil langkah yang sama.

Bahkan menurut Trump, keputusan mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel telah menandai dimulainya pendekatan atas penyelesaian konflik Israel dan Palestina. AS akan terus berupaya mengejar kesepakatan damai antara kedua belah pihak, sesuai dengan peranan negara ini sebagai mediator.

Yerusalem telah menjadi kota suci bagi tiga agama yang berbeda, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Bagi Palestina, Yerusalem bagian timur telah dianggap sebagai Ibu Kota negara itu di masa depan.

Melalui solusi dua negara yang menjadi upaya perdamaian antara Palestina dan Israel, konflik dapat terselesaikan dengan pembagian teritori seperti yang telah didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Palestina akan menjadi negara merdeka dan memiliki teritori di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.

Meski demikian, Israel justru menetapkan kebijakan pembangunan permukiman Yahudi di sejumlah wilayah tersebut setelah perang pada 1967. Israel juga secara jelas menginginkan Palestina tidak pernah berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan hanya menjadi daerah otonomi di bawah administrasi mereka.

Karena itu, PBB kemudian mengeluarkan resolusi yang menentang pembangunan permukiman oleh Israel di wilayah konflik dengan Palestina. Resolusi ini diadopsi untuk pertama kalinya pada 1979.

Tak ketinggalan kali ini dalam upaya terus membela Palestina, banyak negara-negara anggota PBB yang mendukung resolusi menentang keputusan Trump. Dalam sidang darurat Majelis Umum pada 21 Desember lalu, ada 128 negara yang mendukung resolusi menolak keputusan kontroversial yang diumumkan Trump. Hanya ada sembilan negara yang menetang resolusi tersebut, serta 35 lainnya memilih abstain.

Trump kemudian nampaknya merasa tersudutkan. Ia membuat ancaman memutuskan bantuan keuangan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB tersebut.

Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley memperingatkan negara-negara anggota PBB Trump telah memintanya melaporkan siapa saja yang menyetujui resolusi tersebut. Ia memberi peringatan dalam sebuah surat agar negara-negara itu mengetahui pemungutan suara atas status Yerusalem dipandang sebagai hal pribadi.

Kementerian Luar Negeri RI memberikan pernyataan terkait hasil pemungutan suaran Majelis Umum PBB atas Yerusalem. Tanah Air menyambut baik hasil voting yang menunjukkan mayoritas negara di dunia mendukung perjuangan rakyat Palestina.

Indonesia memiliki harapan agar semua anggota PBB menghormati hasil tersebut dan mendengar panggilan moral serta politis dunia yang meminta perdamaian dan kemerdekaan bagi Palestina. Diharapkan juga semua pihak di PBB mendorong proses perdamaian Palestina dan Israel, yang dapat direalisasikan melalui solusi dua negara.

"Indonesia juga akan terus melanjutkan perjuangan diplomasi bagi kemerdekaan Palestina dan memberi bantuan konkret bagi pembangunan negara ini," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri, Jumat (23/12).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement