Senin 04 Jun 2018 14:44 WIB

Razan Al-Najjar, Akhir Cerita Sang Penyelamat Nyawa

Kemudian, tembakan terdengar dan ia jatuh ke tanah.

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Budi Raharjo
Warga Gaza mengantar jenazah perawat Palestina Razan Najjar (21 tahun) yang ditembak Israel, Sabtu (2/6).
Foto: AP Photo/Khalil Hamra
Warga Gaza mengantar jenazah perawat Palestina Razan Najjar (21 tahun) yang ditembak Israel, Sabtu (2/6).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Membantu perjuangan warga Palestina dan berada di garis depan peperangan bukan hanya milik para lelaki, melainkan juga para wanita. Setidaknya, itulah prinsip yang dianut Razan al-Najjar.

Menjalani hari-hari sebagai pekerja medis darurat sukarela, Razan ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki peran dalam masyarakat konservatif Palestina di Gaza. "Menjadi tenaga medis bukan hanya pekerjaan untuk seorang pria," kata Razan dalam wawancara di kemah protes Gaza, bulan lalu, dikutip dari the New York Times, Sabtu (2/6).

Pada hari terakhirnya, Razan berlari dengan rompi putihnya menghampiri seorang pria tua yang telah dipukul dengan menggunakan tabung gas air mata. Hal itu diungkapkan oleh seorang kerabat Razan, Ibrahim al-Najjar (30 tahun).

Menurut Ibrahim, Razan berada kurang dari 100 meter dari pagar ketika dia membalut kepala pria yang terkena tabung gas air mata. Pria itu kemudian dibawa ke ambulans dan paramedis lain menghampiri Razan yang terkena gas air mata. Kemudian, tembakan terdengar dan ia jatuh ke tanah.

Ibrahim membawanya pergi dengan bantuan dua orang lain dan menemaninya di ambulans. "Razan tidak menembak," kata Ibrahim. "Razan menyelamatkan jiwa dan mengobati yang terluka."

Menurut manajer rumah sakit, Dr Salah al-Rantisi, Razan tiba di rumah sakit lapangan dalam kondisi serius. Dia kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Gaza Eropa di Khan Younis, tempat dia akhirnya meninggal di meja operasi.

Sementara, saksi lain dan Kementerian Kesehatan Gaza memberikan versi yang sedikit berbeda dari kejadian. Mereka mengatakan, kala itu Razan dan paramedis lain berjalan menuju pagar dengan tangan terangkat dalam perjalanan mereka untuk mengevakuasi para pengunjuk rasa yang terluka ketika dia ditembak di dada.

Razan menjadi orang Palestina ke-119 yang meninggal sejak protes dimulai pada Maret, menurut pejabat kesehatan Gaza. Ia adalah satu-satunya kematian yang terdaftar pada Jumat lalu. Militer Israel tidak memberikan penjelasan atas penembakan itu, tetapi pada Sabtu, pihaknya mengatakan bahwa kasus itu akan diperiksa.

"Kami telah berulang kali memperingatkan warga sipil agar tidak mendekati pagar dan mengambil bagian dalam insiden kekerasan dan serangan teroris dan kami akan terus bertindak secara profesional dan bertekad untuk melindungi warga sipil Israel dan infrastruktur keamanan Israel," kata militer Israel.

Razan adalah penduduk Khuzaa, sebuah desa pertanian di dekat perbatasan dengan Israel, sebelah timur Khan Younis di Jalur Gaza selatan. Ayahnya, Ashraf al-Najjar, memiliki toko yang menjual suku cadang sepeda motor. Toko tersebut telah hancur dalam serangan udara Israel selama perang 2014 antara Israel dan kelompok militan. Menurut Ibrahim, sejak itu, ia pun hanya menganggur.

Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, Razan tidak cukup bagus dalam ujian sekolah menengahnya untuk belajar di universitas, kata ayahnya. Sebaliknya, ia dilatih selama dua tahun sebagai paramedis di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis dan menjadi sukarelawan dari Lembaga Bantuan Medis Palestina, sebuah organisasi kesehatan nonpemerintah.

Ashraf (44 tahun) mengatakan, putrinya makan sahur dan shalat sebelum fajar pada Jumat sebelum awal Ramadhan untuk berpuasa dari matahari terbit hingga terbenam. Itu terakhir kali dia melihatnya.

Ketika bertemu dia di kemah protes di Khan Younis bulan lalu, dia mengatakan, ayahnya bangga dengan apa yang dia lakukan. "Kami memiliki satu tujuan," kata Ibrahim, "untuk me nyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan mengirim pesan ke dunia: Tanpa senjata, kita bisa melakukan apa saja."

Dalam wawancara video pada Sabtu, Sabreen al-Najjar yang merupakan ibu Razan tampak mengangkat rompi yang berlumuran darah dan berkata, "Ini adalah senjata putri saya yang dengannya dia melawan Zionis," ujarnya, seperti dikutip dari Aljazirah.

Dalam tangisnya, Sabreen pun berbicara lagi, kata-katanya memunculkan ratapan dari para wanita di sekitarnya. "Kuharap, aku bisa melihatnya dalam gaun pengantin putihnya, bukan kain kafan," katanya. n ed: setyanavidita livikacansera

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement