Selasa 19 Jun 2018 01:55 WIB

Israel Sahkan UU Larangan Memotret Tentara

Pihak yang melanggar UU ini akan menghadapi sanksi hukuman lima tahun penjara

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nidia Zuraya
Tentara Israel menangkap pemuda Palestina (ilustrasi)
Foto: AFP
Tentara Israel menangkap pemuda Palestina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Menteri Kabinet Israel mengusulkan undang-undang larangan memotret tentara Israel dengan alasan tidak mempermalukan tentaranya. Komite menteri yang dipimpin oleh menteri kehakiman Israel menyetujui proposal tersebut pada Ahad (17/6) kemarin.

Kementerian Kehakiman Israel mengatakan, siapapun yang memfilmkan, memotret, atau merekam tentara saat melakukan tugas mereka, dengan maksud merusak moral tentara dan penduduk Israel atau siapa pun yang menyebarkan materi tersebut, akan menghadapi hukuman lima tahun penjara.

Rancangan Undang Undang (RUU) itu juga telah disebarluaskan oleh pembuat film tentara Israel Elor Azaria yang secara fatal menembak seorang penyerang dari Palestina di kota Hebron, Tepi Barat pada Maret 2016 lalu. Azaria dinyatakan bersalah atas pembunuhan tak berencana dan menjalani hukuman penjara selama 18 tahun sembilan bulan.

Kasus ini telah memecah bangsa Israel. Militer Israel mendorong untuk penuntutannya, dengan mengatakan dia telah melanggar kode etik. Tetapi banyak juga orang Israel, terutama pada hak nasionalis, membela tindakannya.

Pengusung RUU, Robert Ilatov dari partai ultrisasionalis Yisrael Beitenu, bersikeras dalam sebuah wawancara radio pada hari Senin bahwa RUU itu tidak mempengaruhi kebebasan berbicara. Dia mengatakan itu hanya mencegah obstruksi tentara dalam menjalankan tugas.

Ilatov menulis di Facebook pekan lalu tujuan RUU itu adalah untuk mencegah organisasi sayap kiri menyebarkan gambar (tentara) demi mempermalukan mereka.

Sementara, Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman yang juga merupakan Ketua Partai Yisrael Beitenu, memuji RUU itu untuk membantu melindungi tentara Israel dari pembenci Israel dan pendukung teror yang berusaha merendahkan, mempermalukan dan menyakiti mereka.

Teks RUU tersebut secara khusus menyebutkan B'Tselem, Machsom Watch dan Breaking the Silence - kelompok-kelompok advokasi Israel yang kritis terhadap pendudukan Tepi Barat - sebagai organisasi "anti-Israel dan pro-Palestina" yang kegiatannya mendokumentasikan militer Israel.

"Sebagian besar kelompok-kelompok ini didukung oleh yayasan, organisasi dan pemerintah dengan perspektif dan agenda anti-Israel yang jelas, yang menggunakan bahan-bahan tendensius untuk mencelakakan negara Israel dan keamanannya," demikian bunyi isi teks RUU tersebut

RUU itu merupaka hal terbaru dalam serangkaian langkah-langkah hukum yang disahkan atau diusulkan oleh pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mengekang organisasi yang kritis terhadap penduduk Israel di Tepi Barat.

Wakil Jaksa Agung Raz Nazari, yang hadir pada pertemuan tingkat menteri, mengatakan, bahwa RUU itu bermasalah secara hukum. Menurutnya, para menteri telah sepakat untuk menyusun versi lebih ringan yang akan menghukum para fotografer hanya jika mereka menghalangi seorang tentara melakukan pekerjaannya.

"Hal itu, mirip dengan undang-undang yang ada yang melarang orang-orang mengganggu polisi dalam tugasnya," ujarnya.

Meskipun demikian, anggota parlemen oposisi dan kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan mereka terkejut undang-undang itu disahkan sampai sejauh ini. "Jika ada masalah dengan realitas yang diciptakan oleh pendudukan, kita harus mengubahnya, jangan mencoba menyembunyikannya," kata Tamar Zandberg, pimpinan kelompok oposisi Partai Meretz.

Talia Sasson, presiden Dana Israel Baru, kelompok advokasi liberal yang mendukung kelompok-kelompok yang mendokumentasikan pelanggaran hak di Tepi Barat, menyebut RUU itu sebagai sebuah anak panah yang ditembakkan ke jantung negara Israel.

Jurnalis Israel juga mengkritik proposal tersebut, dengan mengatakan hal itu akan menghalangi kemampuan mereka untuk bekerja. Fotografer Israel, Ohad Zwigenberg, mengatakan wartawan harus diizinkan untuk mendokumentasikan kenyataan seperti apa adanya.

"Dunia tanpa jurnalisme nyata yang bebas dan netral adalah dunia yang gila," katanya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement