Rabu 19 Sep 2018 23:17 WIB

Cara Sekolah Palestina Kembali Cetak Lulusan Berkualitas

Banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
 Seorang guru Palestina mengajar di sebuah sekolah di Khan al-Ahmar, Tepi Barat, pada Ahad (2/9).
Foto: AP/Majdi Mohammed
Seorang guru Palestina mengajar di sebuah sekolah di Khan al-Ahmar, Tepi Barat, pada Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Ada yang berbeda dalam proses belajar menagajar di sekolah Palestina. Para guru mulai menggunakan teknologi untuk menghidupkan suasana kelas.

Saat ini kelas di Palestina dilengkapi dengan layar sentuh yang besar. Seorang guru menampilkan karakter animasi yang bernyanyi dan menari di layar tersebut untuk mengajarkan  anak-anak cara membaca. Hari itu siswa belajar huruf Arab “Raa,”. Layar besar itu menampilkan gambar-gambar kartun dari benda-benda yang berisi huruf-huruf seperti gurun, kursi, dan buah delima.

Guru meminta siswa untuk menyebutkan kata lain. Para siswa tersenyum dan bernyanyi bersama. Beberapa tahun yang lalu, pemandangan seperti itu tidak terpikirkan di sebagian besar ruang kelas Palestina. Seperti di tempat lain di dunia Arab, sekolah-sekolah di wilayah Palestina lebih menekankan hafalan dan ketaatan daripada pemikiran kritis dan kreativitas.

Para guru Palestina berharap penggunaan teknologi dan seni akan menciptakan peluang baru dalam masyarakat, di mana banyak lulusan perguruan tinggi mereka yang menganggur. “Para siswa tidak perlu menghafal sesuatu. Mereka harus mengerti dulu. Kemudian mereka perlu mengekspresikan pemahaman mereka melalui tulisan, berbicara, menggambar, bertindak," kata Ruba Dibas, kepala Sekolah Ziad Abu Ein di kota Ramallah, Tepi Barat. 

Ziad Abu Ein adalah salah satu dari 54 sekolah berbasis teknologi atau smart teaching schools yang diperkenalkan tahun lalu. Tahun ini, jumlahnya tiga kali lipat. Pada 2020, semua  sekolah umum di Tepi Barat yang berjumlah 1.800 akan menjadi bagian dari program ini.

Dibas mengatakan tujuan program itu untuk menghilangkan ujian di kelas. Menurutnya siswa perlu menikmati proses pembelajaran untuk menyerap informasi. Pada hari terakhir, sekolahnya dipenuhi dengan aktivitas. Di kelas lima , setiap anak memiliki tablet. Guru membimbing mereka untuk pelajaran bahasa Arab dengan menggunakan tabletnya sendiri untuk diberikan tugas. Siswa kelas tiga menggunakan telepon pintar. Mereka bermain game untuk mempelajari tabel perkalian.

Di kelas lain, siswa menggambar kartun untuk mempelajari fisika tentang  pesawat  terbang. Kelas bahasa Inggris mengerjakan proyek tentang penguapan. Baru-baru ini, empat anak kelas tiga  belajar tentang harga diri melalui sebuah  drama. Mereka melakoni drama pendek tentang seorang gadis pemalu yang menemukan minatnya pada jurnalisme. Gadis itu tumbuh menjadi seorang reporter yang sukses. Guru mereka, Sawsan Abdat, mengatakan dari drama itu,  anak-anak menerima suatu pelajaran penting bahwa mereka perlu menemukan apa yang mereka kuasai.

Awalnya orang tua merasa ragu dengan konsep sekolah ini. Namun pada tahun ini  pendaftaran naik hampir dua kali lipat. Untuk kelas  pertama tahun ini jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 43 siswa. "Aku cinta sekolah. Kami belajar dan menikmati. Kami belajar dan bermain," kata Malak Samara, siswa kelas empat berusia 9 tahun. 

Sebelum sistem ini diterapkan, siswa akan dipaksa untuk menghafal dan mengikuti ujian di bawah pengawasan ketat. Bahkan dalam beberapa kasus seorang guru akan memukul siswa dengan tongkat jika mereka tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Menurut Biro Statistik Palestina, jumlah  tingkat pengangguran untuk lulusan perguruan tinggi  mencapai 56 persen. Hal ini menyadari para pejabat untuk melakukan suatu perubahan. 

Tahun lalu, Menteri Pendidikan Sabri Seidam  memperkenalkan pelatihan kejuruan di kelas tujuh, delapan dan sembilan. "Masyarakat membutuhkan penyanyi, tukang kayu, pembersih, atlet, sersan. Kita tidak bisa hanya menghasilkan insinyur dan dokter," katanya.  Pengangguran kaum muda, khususnya di kalangan lulusan universitas, adalah masalah besar di dunia Arab. Itu dianggap sebagai kekuatan pendorong Arab Spring yang mengguncang wilayah tersebut pada 2011.

Pemerintah Arab terbiasa menyerap lulusan baru, sering kali dalam pekerjaan layanan sipil. Tetapi mereka tidak mampu lagi melakukan itu,  karena “lonjakan pemuda” di kawasan itu. Sektor swasta menawarkan peluang terbatas. Ini membuat sejumlah besar lulusan muda  menganggur di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. "Tidak ada tantangan yang lebih besar yang dihadapi kawasan MENA dalam upaya untuk membangun masa depan berdasarkan pertumbuhan inklusif daripada penciptaan lapangan kerja," ujar Dana Moneter Internasional  dalam sebuah laporan awal tahun ini.

Ia mencatat bahwa 60 persen dari populasi di kawasan itu berusia di bawah 30 tahun.  "Tekanan di pasar tenaga kerja di wilayah itu meningkat. Dalam lima tahun terakhir, populasi usia kerja di wilayah itu meningkat sebesar 50,2 juta, dan 27,6 juta orang bergabung dengan angkatan kerja. Namun pekerjaan meningkat hanya 25,4 juta, ”katanya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement