Ahad 04 Nov 2018 18:48 WIB

Empat Tahun Menderita Akibat Israel, Rifi Akhirnya Meninggal

Kondisi air yang buruk membuat anak-anak di Gaza rentan terkena penyakit.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang anak Palestina berdiri di depan rumahnya yang hancur akibat serangan udara Israel di Kota Gaza, Palestina.
Foto: EPA/Mohammaed Saber
Seorang anak Palestina berdiri di depan rumahnya yang hancur akibat serangan udara Israel di Kota Gaza, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang bocah Palestina harus menyerah pada luka yang dideritanya sejak serangan mematikan Israel pada 2014 silam di jalur Gaza. Mohammed Nasser al-Rifi (14 tahun) mengalami luka parah dalam serangan oleh Israel di rumahnya di daerah Al-Tuffah, sebelah timur Kota Gaza pada 2014.

"Dia meninggal karena luka yang dialami selama ini, di rumah sakit Al-Wafa di Gaza," ujar juru bicara Kementerian Kesehatan Ashraf al-Qidra dalam sebuah pernyataan.

Sang ayah, saudara laki-laki dan empat saudara kecilnya telah lebih dulu meninggal dalam serangan Israel tersebut. Pada Juli 2014, tentara Israel melancarkan serangan 51 hari di Jalur Gaza dengan dalih menghentikan tembakan roket dari wilayah Palestina.

Menurut angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina, sebanyak 2.323 warga Palestina menjadi martir dan sekitar 11 ribu lainnya terluka dalam serangan itu.

Baca juga, Jet Tempur Israel Tembaki Kompleks Militer Hamas di Gaza.

Jalur Gaza telah mengerang di bawah blokade Israel yang melumpuhkan sejak 2006. Akibatnya, serangan itu melumpuhkan ekonomi wilayah dan merampas dua juta penduduknya dari banyak komoditas pokok.

Kondisi air yang terkontaminasi akibat serangan-serangan Israel, merupakan salah satu penyebab terpuruknya kondisi Gaza, terutama pada anak-anak. Tiga tahun belakangan, anak-anak Gaza menderita gizi buruk dan sindrom bayi biru yang disebabkan oleh air yang tidak layak.

Krisis air di Gaza membuat anak mengalami penyakit yang serius. Seorang dokter di Gaza, Abu Samia memperhatikan peningkatan tajam dalam gastroenteritis, penyakit ginjal, kanker pediatrik, marammus, gizi buruk dan sindrom bayi biru (penyakit yang menyebabkan bibir berwarna biru dan wajah dan kulit berwarna cokelat).

"Kami tinggal di Gaza dalam kondisi darurat. Kami punya waktu hanya untuk meringankan penyakit, bukan untuk penelitian," ujarnya merujuk pertanyaan tentang studi atas temuannya seperti dilansir Aljazirah, Rabu (31/10).

Angka kematian anak dari catatan Kementerian Kesehatan Palestina mendukung temuan dokter Samia. Data tersebut menunjukkan terdapat dua kali lipat penyakit diare, yang meningkat menjadi wabah. Kasus yang juga meningkat pada musim panas lalu adalah infeksi salmonela dan demam demam tifoid.

Jurnal-jurnal medis independen juga mencatat peningkatan angka kematian bayi. Hal itu dinilai sebagai bahaya besar di antara anak-anak Gaza.

Sebuah studi Rand Corporation menemukan bahwa air yang buruk merupakan penyebab utama kematian anak di Gaza. Sederhana-nya, anak-anak Gaza menghadapi wabah kematian anak pada proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Begitu banyak penderitaan," ujar dokter Samia.

Berbagai faktor kerap disalahakan atas krisis kesehatan yang mengikis anak-anak Gaza. Namun, para pakar medis sepakat peyebab utama krisis kesehatan ini yakni air minum yang langka dan air terkontaminasi bahan-bahan racun akibat bom-bom yang diledakan oleh Israel di Gaza.

Bom telah menghancurkan infrastuktur limbah dan akifer, sehingga 97 persen sumur air minum Gaza berada di bawah standar kesehatan minimal untuk kosumsi manusia.

Direktur pengobatan pencegahan di Kemenkes Palestina, Dokter Majdi Dhair melaporkan terjadi peningkatan besar pada penyakit yang disebabkan dari air. "Ini sangat tekait dari air minum yang dikonsumsi dan adanya kontimanisi dari air limbah yang tidak diolah mengalir langsung ke Mediterania," ujarnya.

Otoritas Air Palestina menunjukkan, 70 persen air yang diangkut truk-truk swasta pun rentan terhadap kontaminasi kotoran. Dari situ, jumlah bakteri e-Coli yang jumlahnya miksroskopis sekali pun dapat berkembang yang menyebabkan krisis kesehatan.

Pakar air dan sanitasi Unicef untuk Gaza, Gregor von Medeazza menjelaskan, semakin lama e-Coli tetap berada di sisi air, kian banyak mereka tumbuh di dalam air memperburuk kualitas air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement