Rabu 21 Nov 2018 14:57 WIB

Penyesatan Informasi dalam Diorama Zionis

Palestina bukan hanya masalah orang Palestina atau Arab, ini masalah kemanusiaan.

Konflik Palestina
Foto: AP Photo/Adel Hana
Konflik Palestina

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Nur Hasan Murtiaji

Salah satu ruang utama Hotel Pullman, Istanbul, Turki, pada Sabtu dan Ahad (17-18/11) lalu penuh dengan papan diorama yang menggambarkan derita rakyat Palestina. Dimulai di bagian paling ujung, sederet papan mengungkapkan data statistik Palestina terkini.

Ada 11 ribu anak Palestina yang ditahan pada masa 2000-2018. Dari jumlah tersebut, saat ini yang masih berada di dalam tahanan sebanyak 359 anak berusia di bawah 18 tahun, tiga di antaranya bocah perempuan. Tiga anak ditahan 15 tahun penjara, empat anak lainnya dengan masa tahanan 5-9 tahun.

"Penjajah memvonis anak-anak dengan hukuman penjara seumur hidup. Kasus hukuman yang sangat-sangat langka dilakukan dalam aturan hukum global," demikian keterangan yang tertulis pada papan dekoratif bergambarkan seorang bocah dengan tangan, tubuh, dan kakinya diborgol empat bola besi hitam berukuran besar.

Kebanyakan dari mereka dipenjara di dalam ruangan isolasi seorang diri. Mereka juga mengalami sejumlah pukulan dan penyiksaan lainnya selama proses investigasi. Pada papan galeri lainnya yang dipasang oleh panitia Palestine International Forum for Media and Communication (PIMFC) — lembaga yang berbasis di Beirut, Lebanon — adalah data demografi rakyat Palestina terkini. Diungkap di papan itu, jumlah populasi rakyat Palestina mencapai 12,706 juta.

Perinciannya, sebanyak 2,54 juta jiwa mendiami wilayah Tepi Barat, 427 ribu di Yerusalem, 1,532 juta di wilayah jajahan yang dirampas Israel sejak 1948, dan 1,912 juta jiwa di Jalur Gaza. Data ini berdasarkan Statistik Alquds International Institution per 1 Agustus 2018.

Total terdapat 8,487 juta rakyat Palestina menjadi pengungsi karena dipaksa pindah dari tanah tempat kelahirannya. Mereka tersebar di Tepi Barat sebanyak 0,772 juta, di Gaza 1,275 juta, 150 ribu di wilayah jajahan yang dirampas Israel pada 1948, di negara-negara Arab sebanyak 5,595 juta, dan negara-negara lain 695 ribu jiwa. Saat ini, Gaza sudah 144 bulan berada dalam isolasi Zionis.

Data statistik ini tidaklah tetap, bisa berubah setiap saat bergantung pada eskalasi konflik yang terjadi. Peneliti masalah Palestina Dr Azzam Tamimi menegaskan, kebenaran sejati mesti diungkap sembari mencari penyebab aksi kekerasan militer Israel dengan mengaitkan kasus saat ini pada konflik asalnya. "Ini bersumber pada gerakan Zionis dan kekejaman yang mereka lakukan di tanah Palestina," kata Azzam Tamimi, yang juga ketua Dewan Al Hiwar TV, stasiun televisi berbasis di London, Inggris.

Azzam menjadi salah satu pembicara pada Palestine International Forum yang ke-3 bertajuk "Palestine Addressing the World". Azzam menyampaikan materi pada sesi panel bertemakan "Developing the Global Media Discourse on Palestine". Acara ini dihadiri sekitar 800 peserta yang terdiri atas para jurnalis, akademisi, mahasiswa, aktivis HAM, hingga penulis. Mereka berasal dari 60 negara, yang berasal dari wilayah Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan Timur Tengah.

Para peserta seminar dan loka karya pelatihan ini berdiskusi menyamakan persepsi. Mereka juga membahas strategi bersama menangkal penyesatan informasi yang dilakukan media arus utama global atas fakta terjadinya penjajahan Israel terhadap rakyat Palestina. Jurnalis asal Jerman, Martine Lejeune, mengatakan, militer Zionis berupaya mendistorsi penyebab konflik Israel-Palestina.

Menurutnya, tidak ada waktu lagi untuk membuang-buang waktu dengan membuat laporan tak akurat soal Palestina. "Rakyat Palestina sedang sekarat setiap harinya dan mereka mend rita akibat penjajahan Israel," kata Lejeune saat diwawancara kantor berita Turki, Anadolu. Di antara penyesatan informasi mengenai Palestina, Lejeune menyebut penggunaan istilah "perbatasan". Militer Zionis menggunakan kata perbatasan saat meliput protes warga Gaza.

"Banyak media dunia yang menggunakan perbatasan, padahal faktanya tidak ada itu perbatasan. Yang ada hanyalah pagar pengamanan dan pos perbatasan yang dibuat oleh pasukan penjajah," kata Lejeune.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement