Rabu 21 Mar 2012 21:00 WIB

Hana Shalabi, Contoh Luar Biasa Perjuangan Tanpa Kekerasan

Rep: Lingga Permesti/ Red: Chairul Akhmad
 Ibu-ibu Palestina memegang poster Hana Shalabi untuk mendukung perjuangan aktivis yang ditahan Israel itu.
Foto: alternativenews.org
Ibu-ibu Palestina memegang poster Hana Shalabi untuk mendukung perjuangan aktivis yang ditahan Israel itu.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM – Tidak lama setelah tahanan Israel, Khader Adnan, mengakhiri mogok makan selama 66 hari, Hana Shalabi juga mengikuti jejak Khader.

Hana telah mogok makan selama lebih dari 33 hari dan kini dikabarkan dalam kondisi mengkhawatirkan. Hana tumbang dan harus dilarikan ke Rumah Sakit Meir di Kfar Saba.

Seorang dokter independen dari Dokter untuk Hak Asasi Manusia Israel yang memeriksa Shalabi mengungkapkan, hidup Hana dalam resiko kematian. Sebab, Hana mengalami pelemahan otot-otot dan berat badannya turun hingga 14 kilogram.

Menurut pengacaranya, Raed Mahameed, Hana menderita tingkat detak jantung rendah, gula darah rendah, kehilangan berat badan, kelemahan pada otot, mata mulai menguning dan ginjal yang telah melemah. Hana tidak dapat tidur karena sakit. Ia juga menderita pusing dan pandangan mata yang kabur. Hana sempat memakan garam pekan lalu, namun menolak untuk memakannya lagi

Hana, seorang wanita muda normal yang juga anggota Jihad Islam, ditahan tanpa alasan jelas. Ia sebelumnya ditahan di penjara Hasharon Israel selama 30 bulan antara 2009 hingga 2011. Ia dibebaskan saat terjadi kesepakatan pertukaran tahanan Israel dengan 1.027 warga Palestina.

Hana telah mencoba pulih dari keterasingan selepas keluar dari penjara, namun ia kembali ditangkap dengan cara yang kasar oleh tentara Israel. Pada 16 Februari, Hana memulai mogok makan yang dilakukannya sebagai aksi protes agar Israel mengakhiri penahanan administratif, di mana orang ditangkap dan dipenjara tanpa dakwaan.

Hana juga mengalami pelecehan seksual di dalam penjara. Petugas penjara meminta Hana menanggalkan pakaiannya di depan banyak petugas. Orang tua Hana ditolak untuk mengunjungi putrinya. Hana ditempatkan di sel isolasi dan kesehatannya semakin memburuk. Orang tua Hana, Badia Shalabi, menangis melihat penderitaan sang anak. Badia juga mengaku melakukan mogok makan selama putri mereka berada di tahanan.

Pemerintah Israel berdalih bahwa mogok makan adalah suatu tindakan sukarela. PBB juga sepertinya menutup mata akan hal ini. Ketua Uni Komite Wanita Palestina, Khitam Saafin, meminta PBB bertanggung jawab untuk seluruh pelanggaran yang terjadi terhadap rakyat Palestina.

Bahkan, seorang Juru Bicara LSM Dokter HAM Israel mengakui perjuangan Hana. Hana adalah contoh luar biasa dari sebuah perjuangan tanpa kekerasan. Mogok makan adalah protes terakhir yang dapat dilakukan tahanan. “Itu sangat berani dan inspiratif,” kata Yael Maron, Juru Bicara LSM tersebut.

sumber : Al-Jazirah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement