Senin 25 Dec 2017 18:10 WIB
Yerussalem Ibukota Israel

Pemimpin Kristen Palestina Tolak Keputusan Trump

Rep: Marniati/ Red: Agus Yulianto
Warga Nasrani Palestina
Foto: http://972mag.com
Warga Nasrani Palestina

REPUBLIKA.CO.ID,  GAZA -- Pemimpin Kristen Palestina telah menolak keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Menurut para pemipin Kristen Palestina, apa yang dilakukan Trump begitu berbahaya dan menghina.

Keputusan Trump telah memicu protes di seluruh dunia Muslim dan mendapat kecaman internasional. "Langkah AS menyinggung orang Kristen dan Muslim di seluruh dunia yang menganggap Yerusalem sebagai warisan spiritual dan nasional mereka yang paling suci", ujar uskup agung gereja Ortodoks Yunani Yerusalem, Atallah Hanna, dalam sebuah pernyataan pada Sabtu seperti dilansir Aljazirah, Senin (25/12).

Hanna mengatakan, orang-orang Palestina, Kristen dan Muslim menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Komentar uskup agung ini datang saat orang-orang Kristen Palestina ikut serta dalam perayaan malam Natal. Banyak umat Islam juga menghadiri acara tahunan tersebut untuk menunjukan solidaritas melawan keputusan Trump.

"Pesan persatuan ini adalah satu orang Palestina yang sangat bersikukuh untuk menyampaikannya, terutama saat ada krisis politik yang melanda daerah ini," katanya.

Anggota dewan lokal Bethlehem, Maher Canavati mengatakan, perayaan tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan pesan damai, cinta dan pengertian. "Kami menginginkan perdamaian dengan tetangga kita tapi kita harus bisa berbagi Yerusalem dan memiliki akses mudah ke Yerusalem sebagai orang Palestina juga," katanya.

Betlehem, yang biasanya dipenuhi turis hampir tidak dipenuhi pengunjung dalam beberapa hari terakhir karena adanya konfrontasi di antara pasukan Israel dan pemrotes Palestina setelah keputusan AS tersebut. "Sayangnya, setelah pernyataan Donald Trump banyak orang tidak yakin tentang keamanan di daerah ini. Banyak dari mereka yang berada di negara tersebut tidak sampai di Bethlehem, mereka tinggal di Yerusalem dan di bagian utara negara tersebut ," kata Canavati.

Menurutnya, sangat penting bagi semua orang Kristen yang datang ke Betlehem mendukung komunitas Muslim dan Kristen. Di Jalur Gaza, orang-orang Kristen Palestina juga mengungkapkan dukungan mereka terhadap Yerusalem sebagai ibukota Palestina.

"Semua orang yang kita ajak bicara di sini bertentangan dengan tindakan AS, dan mereka mengatakan bahwa hal itu hanya menambah frustrasi kehidupan di sini," kata salah seorang warga.

Blokade Israel di Jalur Gaza yang diduduki telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Isolasi Gaza telah menghancurkan ekonominya dan membuat dua juta orang di Jalur Gaza hidup dalam kemisikinan. Mereka hidup tanpa pasokan listrik, air dan kesehatan yang memadai. Sejak 2007, Israel telah meluncurkan tiga perang melawan Jalur Gaza.

Sekitar 1.000 orang Kristen tinggal di Jalur Gaza, kurang dari setengah dari jumlah 10 tahun yang lalu. Menurut sosiolog Samir Quta, banyak keluarga Kristen telah meninggalkan Gaza dalam beberapa tahun terakhir untuk mencari keamanan dan jaminan finansial.

"Keluarga Kristen di Gaza biasanya memiliki tingkat sosio-ekonomi yang tinggi, dan semakin banyak orang memiliki pilihan dan uang, semakin mereka mencari kehidupan yang lebih baik," katanya. Hal ini tidak tersedia di Gaza, bahkan jika memiliki uang di Gaza mereka tidak bisa memiliki kehidupan yang baik.

Rosette Saygh, seorang Kristen yang masih tinggal di Gaza, mengatakan kepada kehidupan di wilayah tersebut seperti penjara bagi mereka yang menetap di sana. "Hidup sangat sulit di Gaza, kita hidup dalam pengepungan dan kita tidak bisa bergerak ke mana-mana. Kita telah menyaksikan banyak perang, selama pemboman kita harus tidur di gereja untuk keselamatan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement