Kamis 13 Sep 2018 09:21 WIB

Ekonomi Palestina Tumbuh tanpa Prospek

Palestina dibiarkan bergantung pada Israel.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ani Nursalikah
Pedaganga makanan di Nablus Tepi Barat, Palestina menjual dagangannya di malam hari.
Foto: ALAA BADARNEH/EPA
Pedaganga makanan di Nablus Tepi Barat, Palestina menjual dagangannya di malam hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyayangkan Palestina terjebak dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Lembaga PBB yang berurusan dengan isu perdagangan, investasi dan pembangunan, UNCTAD merilis kondisi ekonomi Palestina tumbuh tanpa prospek, banyak pengangguran terutama di Gaza, dan mengalami kelambatan pembangunan.

Dilansir di Arab News pada Rabu (13/9), UNCTAD merilis pengangguran di wilayah Palestina adalah yang tertinggi di dunia pada 2017 (27,4 persen). Produksi pertanian turun 11 persen. Separuh warga Palestina di bawah usia 30 tahun menganggur. Ekonomi tumbuh 3,1 persen, tetapi datar pada basis per kapita.

“Setiap tahun, situasi menjadi semakin tidak dapat diterima dan sulit,” kata Wakil Sekretaris Jenderal UNCTAD Isabelle Durant pada konferensi pers di Jenewa.

Ia menggambarkan situasi ekonomi di Palestina tidak berkelanjutan. Sebuah serikat pabean antara Israel dan wilayah Palestina, telah mengisolasi ekonomi Palestina dari seluruh dunia dan membiarkannya bergantung pada Israel.

“Alasan utama untuk situasi ini dari sudut pandang pembangunan ekonomi adalah serangkaian pembatasan Israel,” kata koordinator laporan UNCTAD Mahmoud Elkhafif.

Israel membatasi izin bagi warga Palestina untuk bekerja di Israel dengan blokade jalan di Tepi Barat. Di Gaza, pendapatan masyarakat turun 30 persen sejak 1999 dan kapasitas produksi telah terkena operasi militer berturut-turut, rumah tangga rata-rata mendapat dua jam listrik setiap hari, dan hanya sekitar 10 persen yang memiliki air minum.

Tahun lalu, ada pemotongan gaji ribuan pekerja pemerintah di Gaza sebesar 30 persen. Total dukungan internasional turun secara signifikan dari dua miliar dolar AS pada 2008 menjadi 720 juta dolar AS pada 2017. Kondisi diperburuk ketika Presiden AS Donald Trump menghentikan pendanaan untuk lembaga pengungsi Palestina PBB, UNRWA.

Baca juga: Rusia Ingatkan AS tentang Kontribusi UNRWA Bagi Perdamaian

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement