Kamis 27 Sep 2018 18:02 WIB

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina Kesulitan Cari Dana

Arab dan Uni Eropa diharapkan menaikkan dana bantuan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Foto anak-anak sekolah di unrwa
Foto: unrwa.org
Foto anak-anak sekolah di unrwa

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Lembaga bantuan PBB untuk pengungsi Palestina, United Nations Relief and Works Agency for Palestine (UNRWA) kesulitan mencari dana bantuan setelah Amerika Serikat (AS) memotong dana bantuan luar negeri mereka. UNRWA pun membuka tangan kepada semua pihak yang ingin membantu mereka.

Baberapa penyumbang termasuk negara-negara Arab dan Uni Eropa diharapkan menaikkan dana bantuan mereka. Ada kekurangan sekitar sekitar 300 juta dolar setelah AS memotong dana bantuan mereka.

"Besaran potongan yang dilakukan AS sangat, sangat signifikan," kata Jendral Komisioner UNWRA, Pierre Krahenbuhl, seperti dilansir dari Aljazirah, Kamis (27/9).

Krahenbuhl mengatakan organisasinya membutuhkan 185 juta dolar AS untuk bisa berjalan sampai akhir 2018. Lembaga yang berdiri pada 1949 itu membantu lebih dari 700 ribu warga Palestina yang dipaksa keluar dari negeri mereka akhir tahun ini.

Saat ini mereka membantu lima juta orang pengungsi Palestina yang berada di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, Yerusalem, dan Gaza. Sebanyak 677 sekolah dan 143 fasilitas kesehatan, serta hampir 10 ribu pekerjaan akan hilang bila lembaga tersebut gagal melewati krisis finansial ini. Dana yang ada kini ini ada di akun bank UNRWA hanya bisa untuk sampai pertengahan Oktober.

"Sebuah kabar yang sangat baik kami berhasil membuka sekolah pada Agustus dan September untuk setengah juta anak, sekarang kami harus bisa menjaga mereka tetap buka, menjaga klinik kami tetap buka, dan tetap ada pelayanan yang dilakukan sehingga ada banyak pekerjaan," kata Krahenbuhl.

Lebih dari 100 staf lembaga tersebut diberhentikan dan ratusan pekerja paruh waktu dipotong waktu kerjanya. Sementara pemotongan gaji sudah dilakukan semenjak Presiden AS Donald Trump memotong dana bantuan mereka secara sepihak pada Agustus lalu.

Krahenbuhl mengatakan pekerja-pekerjaan itu menjadi penopang hidup di wilayah yang angka penganggurannya mencapai 40 persen. Hilangnya pemasukan akan sangat menghancurkan keluarga dan seluruh komunitas pengungsi. Pinjaman untuk proyek pembangunan juga ditunda dan penyediaan pelayanan kesehatan jiwa juga diturunkan.

"Di Gaza, di mana kebutuhan ini sangat dibutuhkan dan sangat signifikan, salah jika memotong bantuan dengan cara ini karena kebutuhannya belum hilang," kata Krahenbuhl.

Krahenbuhl mengatakan pelayanan kesehatan jiwa sangat dibutuhkan mengingat tingginya kecemasan, depresi, dan bunuh diri di wilayah yang dikepung dan diblokade oleh Israel selama 11 tahun. Ratusan anak sekolah dari kantong pengungsi melakukan demonstrasi di Tepi Barat untuk memprotes pemotongan bantuan yang dilakukan oleh AS.

Krahenbuhl menegaskan kembali hak warga Palestina untuk bisa pulang ke negara mereka seperti yang tertuang dalam Resolusi PBB 194. Duta besar Amerika untuk PBB Nikki Haley menyanggah jumlah pengungsi yang diberikan oleh UNWRA.

Haley juga mengkritik hak warga Palestina untuk bisa pulang ke negara mereka sebagai syarat menghentikan konflik Israel-Palestina. Krahenbuhl pun membalas kritik Haley tersebut yang menurutnya tidak masuk akal.

"Anda bisa yakinkan semua orang mendukung hak orang Rohingnya pulang, seperti mendukung hak pengungsi Afganistan pulang atau pengungsi Suriah pulang, kenapa satu-satunya warga Paletina menjadi komunitas yang di planet ini yang tidak boleh pulang? Itu sama sekali tidak masuk akal," kata Krahenbuhl.

Krahenbuhl sangat menyesalkan penarikan bantuan AS yang baginya bermotif politis. Krahenbuhl seharusnya tidak ada persoalan yang diselesaikan dengan memotong dana bantuan. Ia juga menepis anggapan yang menyatakan UNRWA bertanggungjawab atas situasi politik pengungsi Palestina. Sebuah anggapan yang kerap dilontarkan oleh kritikus-kritikus AS dan Israel.

"Absennya resolusi politis konflik antara Israel dan Palestina sudah ditempelkan pada status para pengungsi, bukan kerja dari UNRWA, politisi seharusnya melihat lebih dalam akar dari konflik ini," kata Krahenbuhl.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement