Jumat 16 Nov 2018 09:05 WIB

Bertahan Hidup di Jalur Gaza

Blokade Israel terhadap Gaza telah menyebabkan kondisi masyarakat kian sulit.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Warga melintasi bangunan yang hancur akibat serangan Israel ke Kota Gaza, Rabu (12/11).
Foto: AP/Hatem Moussa
Warga melintasi bangunan yang hancur akibat serangan Israel ke Kota Gaza, Rabu (12/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Tak ada yang meragukan, Jalur Gaza merupakan salah satu tempat di dunia yang menghadapi krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Hal itu tak terlepas dari blokade selama lebih dari 10 tahun yang diterapkan Israel atas wilayah tersebut.

Blokade Israel terhadap Gaza telah menyebabkan kondisi masyarakat di sana tercekik. Tak hanya ruang gerak yang terbatas, mereka juga harus hidup dengan pasokan listrik yang sangat minim. Hal itu tak hanya berdampak pada keseharian hidup penduduk Gaza, tapi juga aktivitas perekonomian di sana.

Tahun lalu, PBB telah mengatakan, Gaza akan menjadi tempat yang tak layak huni. Koordinator Bantuan dan Pembangunan PBB untuk Palestina Robert Piper mengungkapkan, kondisi dua juta penduduk Gaza dari tahun ke tahun kian mengkhawatirkan.

Baca juga,  Di Balik Operasi Penyusupan Tentara Israel ke Jalur Gaza.

Sepuluh tahun setelah kelompok Hamas mengontrol Gaza, perlahan tapi pasti penduduk di sana mulai menghadapi krisis, seperti penurunan pendapatan, tingginya angka pengangguran, minimmya akses terhadap perawatan kesehatan serta pendidikan, hingga sulitnya memperoleh energi atau listrik.

"Setiap indikator, dari energi hingga air, perawatan kesehatan hingga pekerjaan, kemiskinan hingga kerawanan pangan, setiap indikator itu menurun. Warga Gaza telah melewati perkembangan deformasi lambat ini selama satu dekade," kata Piper pada Agustus lalu.

Hingga saat ini Gaza memang mengandalkan pasokan listrik dari Israel. Pasokan itu terus menerus dipangkas jatahnya. Namun Israel mengklaim bahwa pemotongan suplai listrik dilakukan atas permintaan Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah. Hamas memang telah terlibat perselisihan dengan Fatah sejak 2007.

Menurut Piper, pada 2020, bila pertumbuhan penduduk meningkat signifikan, Gaza membutuhkan suplai listrik setidaknya 850 megawatt per hari. Namun dia menilai, pasokan listrik tidak akan mungkin mencapai atau melebihi 360 megawatt.

Hasilnya, penduduk Gaza, yang diproyeksikan tumbuh sekitar 10 persen dalam tiga tahun ke depan, harus bersiap menghadapi krisis di semua aspek, termasuk kelangkaan sumber daya energi.

Pada September lalu, Bank Dunia telah menerbitkan laporan terbaru tentang kondisi perekonomian di Jalur Gaza. Bank Dunia menyebut, setelah diblokade selama lebih dari satu dekade, perekonomian di Gaza telah ambruk.

Menurut Bank Dunia, Gaza mengalami minus enam persen dalam pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2018. Sejak saat itu, terdapat indikasi tentang akan terjadinya kemerosotan lebih lanjut.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, salah satunya keputusan Otoritas Palestina memangkas dana sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk Gaza setiap bulannya.

Kondisi kian diperburuk oleh pemotongan dana bantuan dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). UNRWA diketahui tengah mengalami krisis pendanaan setelah AS memutuskan menangguhkan dan akhirnya menghentikan pendanaannya untuk lembaga itu.

Menurut Bank Dunia, kemerosotan ekonomi di Gaza tak dapat lagi ditopang dengan aliran dana bantuan asing yang berangsur menurun. Sektor swasta pun tak bisa memberikan kontribusi karena adanya pembatasan gerak terhadap akses pasar dan bahan-bahan utama.

"Situasi ekonomi dan sosial di Gaza telah menurun selama lebih dari satu dekade tapi telah memburuk secara eksponensial dalam beberapa bulan terakhir dan telah mencapai titik kritis," ujar Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza Marina Wes.

Laporan Bank Dunia menekan perlunya pendekatan seimbang terhadap situasi di Gaza. Dibutuhkan kombinasi tanggapan krisis segera, dengan langkah-langkah langsung guna menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.

Adapun respons langsung tersebut antara lain memastikan kelanjutan dari layanan utama, seperti energi, air, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan mendesak lainnya adalah meningkatkan daya beli masyarakat guna memulihkan kegiatan perekonomian. Hal itu dapat dilakukan memperluas zona penangkapan ikan di luar batas tiga mil yang sangat ketat menuju 20 mil yang disepakati 1990-an.

Di luar repons krisis, peran otoritas Israel juga sangat dibutuhkan untuk memulihkan situasi ekonomi dan sosial di Gaza. Tindakan yang diharapkan adalah mencabut pembatasan perdagangan dan memungkinkan pergerakan barang serta manusia. Tanpa adanya tindakan demikian, situasi ekonomi di Gaza akan terus memburuk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement