Rabu 30 Jan 2019 00:31 WIB

Perdana Menteri Palestina Ajukan Pengunduran Diri

Pengunduran diri menyusul setelah Fatah merekomendasikan pembentukan pemerintah baru.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.
Foto: Reuters
Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah.

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah telah mengajukan pengunduran diri dari jabatannya, Selasa (29/1).

Keputusan tersebut diambil Hamdallah setelah Komite Sentral Fatah merekomendasikan pembentukan pemerintah yang terdiri dari perwakilan faksi-faksi di Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan tokoh-tokoh independen.  

"Dia (Hamdallah) dan menteri lainnya mengundurkan diri," ungkap juru bicara Hamdallah, Ahmad Shami, dikutip laman the Times of Israel.  

Menurut Shami, diterima atau tidaknya pengunduran diri Hamdallah dan menteri lainnya akan ditentukan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. 

Jika Abbas menerima, Hamdallah dan menteri lainnya akan tetap berdinas hingga pemerintahan baru terbentuk.  

Hingga saat ini Otoritas Palestina dikabarkan belum membahas nama-nama calon yang akan menggantikan posisi Hamdallah. 

Hal itu dikonfirmasi seorang pejabat senior Fatah. "Sampai sekarang sama sekali tidak ada nama yang telah dibahas. Semua rumor itu sepenuhnya salah," katanya. 

Juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, memprotes pengunduran diri Hamdallah dan menteri Palestina lainnya. 

Dia berpendapat hal itu akan membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan yang hanya melayani kepentingan Abbas dan faksi Fatah saja.

Pada Ahad (27/1) lalu, anggota Komite Sentral Fatah Azzam al-Ahmad, mengatakan Palestina berencana membentuk pemerintahan baru. Rencana itu diumumkan merespons keputusan Hamas yang menolak menyerahkan kontrol atas Jalur Gaza ke Otoritas Palestina. 

"Kami berencana membentuk pemerintahan baru dari faksi-faksi segera sebagai tanggapan atas kegagalan Hamas melakukan tanggung jawab nasionalnya dalam menyerahkan Jalur Gaza ke Otoritas Palestina yang sah," kata Ahmad. 

Ahmad menegaskan Hamas tak akan disertakan dalam pembentukan pemerintahan yang baru. 

"Hamas membantu membentuk pemerintahan terakhir. Kali ini, mereka tidak akan berpartisipasi dalam pembentukannya atau menjadi bagian darinya," ujar dia. 

Fatah dan Hamas telah berselisih sejak 2007. Beberapa upaya rekonsiliasi antara kedua faksi itu sempat dilakukan. 

Namun hal tersebut gagal karena Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada Otoritas Palestina bila hendak berdamai. 

Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah menandatangani  kesepakatan rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Penandatanganan kesepakatan itu menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih. Hamdallah berperan besar dalam tercapainya kesepakatan tersebut. 

Setelah sepuluh tahun berlalu, Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya untuk memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apa pun. Mereka bahkan membubarkan komite administartif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza. 

Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut.

Namun rekonsiliasi masih mengalami kebuntuan. Hingga saat ini Hamas masih mengontrol Jalur Gaza sedangkan Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement