Rabu 03 Apr 2013 00:51 WIB
Kisah Invasi AS ke Irak

Sepuluh Tahun, Sepuluh Masalah

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Tentara AS di Baghdad,Irak.
Foto: AP/Maya Alleruzzo
Tentara AS di Baghdad,Irak.

REPUBLIKA.CO.ID,Prospektus palsu yang mendasari perang itu diperkirakan akan membuat Washington terbebani sedemikian banyak biaya untuk perawatan kesehatan para veteran dan membayar bunga pinjaman. Perang Irak diperkirakan akan menjadi sangat mahal bagi AS. Berikut 10 masalah yang dihadapi AS dari keputusannya menginvasi Irak pada 2003.

1. Alqaidah tidak pernah hadir di Irak sebelum invasi AS tahun 2003. Setelah AS dan sekutunya masuk ke Irak, sebuah organisasi yang bernama Alqaidah di Irak (AQI) terbentuk, dan secara regular menyerang pasukan AS, Irak, dan penduduk sipil. Pada 2013, AQI memperluas basis dan kemampuan teknis tempurnya ke Suriah, Yordania, dan Libya. Jika Irak menjadi ‘front’ bagi perang melawan terorisme, ini adalah front buatan AS.

2. Konflik diperburuk oleh Perang Irak. Iran dan Korea Utara sama sekali tidak terintimidasi oleh invasi AS ke Irak pada 2003, dan tidak menghentikan niat keduanya memiliki senjata pemusnah massal. Perang di Afghanistan juga menjadi lebih panjang akibat invasi AS ke Irak, dan kekerasan di Pakistan terus meningkat, yang mengakibatkan besarnya biaya militer dan nyawa yang hilang.

3. AS berniat membangun negeri yang lebih demokratis di atas puing-puing republik yang ditinggalkan Saddam Hussein. Kenyataannya, ketika Irak membangun institusi dan mempraktikkan demokrasi, korupsi merajalela. Situasi menjadi lebih parah ketika PM Nouri al- Maliki membentuk Fedayeen al-Maliki, kelompok paramiliter beranggotakan 6.000 Pasukan Khusus untuk dirinya. Pasukan di bawah komando langsung al-Maliki. Nadje al-Ali, dari London’s School of Oriental and African Studies (SOAS), menemukan keterwakilan wanita secara politik di pemerintahan dan dunia kerja masih sangat kecil. Sedangkan, sebagian besar penduduk tidak memiliki pekerjaan, buta huruf, dan miskin.

4. Tentara yang kembali dari medan perang Irak dan Afghanistan berisiko mengalami penyakit pernapasan dan kardiovaskular, dibanding prajurit yang kembali dari medan perang lainnya. Partikel debu beracun di Irak berukuran 2,5 sampai 10 mikron yang terlalu kecil untuk disaring paru-paru manusia. Roger Miller, pakar paru-paru RS Universitas Vanderbilt, mengatakan, residu beracun dari pembakaran belerang atau ledakan ranjau kemungkinan menjadi penyebab gangguan pernapasan sejumlah veteran Perang Irak. Situasi lebih mengerikan dihadapi penduduk Irak, yang harus hidup selamanya dengan debu beracun dan polusi yang dihasilkan pesawat tempur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement