Senin 21 Mar 2016 05:00 WIB

Dubes RI untuk Suriah Angkat Bicara Soal Assad dan Suriah

Duta Besar RI untuk Suriah Djoko Harjanto (kanan).
Foto:
Penduduk Madaya yang diizinkan pemerintah Suriah meninggalkan kota itu, Senin, 11 Januari 2016.

Dalam pandangan Anda, mengapa negara-negara tersebut agresif melawan Assad?

Tujuannya apa? Menjatuhkan Assad, kalau presidennya jatuh dibunuh, kayak Libya, ditinggal biar berantakan. Kalau sudah berantakan benteng terakhir perlawanan ke Israel sudah tidak ada. Pertanyaannya, kalau memang ISIS kuat, mengapa tidak menyerang Israel?

Malah faktanya Israel tenang-tenang saja. Itu yang diharapkan. Padahal fanatisme anti-Israel yang dimiliki Suriah lebih dari Indonesia. Salah satu buktinya, Suriah melarang warganya yang beragama Kristen berziarah ke Yerussalem, sementara negara kita masih memperbolehkan.   

Jadi, konflik Suriah akibat konspirasi internasional atau gejolak politik dalam negeri?

Dua-duanya betul. Faktor politik karena ada agenda Arab Spring. Tapi Arab Spring juga tidak bisa terlepas juga dari konspirasi internasional. Kita tahulah, siapa di balik Israel, AS mendukung sekutunya itu. Tapi kalau anti-Assad ada nalarnya.

Semua Islam betulan. Presiden Assad, pemerintahannya sejak dulu bapaknya berkuasa lama karena partainya kuat. Seperti Golkar, di sana Baath. Kecenderungannya minta bantuan ke negara komunis, Rusia ketika itu.

Sedangkan Rusia punya kepentingan. Modal mereka di Suriah sebesar 20 miliar dolar AS, investasi minyaknya lewat Tartus, dekat Ladakiya, tempat Assad berasal. Nah, jika itu investasi itu tidak dibentengi, ya habis. Investasi ekonomi dan sudah lama bersahabat.

Dukungan nyata seperti apa dari Pemerintah RI untuk Suriah? Mengapa?

Dukungannya yang nyata ya saya diakreditasikan ke sana, saya tidak hanya mewakili Presiden Jokowi saja, tapi mewakli 250 juta penduduk Indonesia. Ada 63 kedutaan di Suriah, separuhnya tutup. Kita termasuk yang tidak tutup. Mengapa? Karena ketika Suriah ketika bergabung dengan Mesir dalam Republik Persatuan Arab (RPA), Suriah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Yang kedua, ketika persoalan Timor-Timor, Suriah disuruh apa saja untuk mendukung kita, mereka mau. Ketiga, tentunya sama-sama Muslim sama negara non-Blok. Kita menolak misalnya ketika Arab Saudi yang mengajak koalisi militer. Jika kita menerima ajakan itu, maka kita telah mencederai persehabatan dengan Iran dan negara lain. Padahal di PBB, OKI, dan organisasi apapun itu kan tempat duduknya diterapkan sistem alfabetik, Irak, Indonesia, Iran.

Lha jika sudah memusuhi Iran duduk bersama kayak apa? Lucu. Itu persoalan. Posisi Indonesia sudah sangat tepat, politik luar negerinya membantu penyelesaiaan dengan cara politis, cara damai, bukan perang.  Kalau perang tentu kita sudah mengirimkan senjata dan tentara. Tetapi hal  itu tidak kita lakukan.

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement