Jumat 10 Nov 2017 08:09 WIB

Saudi, UEA, Kuwait Minta Warganya Tinggalkan Lebanon

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).
Foto: SPA
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait telah menyarankan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Lebanon dan mendesak orang-orang yang berada di negara tersebut untuk pergi sesegera mungkin.

"Karena situasi di Republik Lebanon, sumber resmi di Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa warga negara Saudi yang berkunjung atau tinggal di Lebanon diminta untuk meninggalkan negara sesegera mungkin," ujar sumber Kementerian Luar Negeri Saudi seperti dilansir Aljazirah, Jumat (10/11).
 
Kerajaan menasihati semua warga agar tidak melakukan perjalanan ke Lebanon dari destinasi internasional lainnya. Hanya beberapa jam kemudian, Kuwait dan UEA juga mendesak warga negaranya untuk segera meninggalkan Lebanon.
 
Bahrain - sekutu Arab Saudi - telah memerintahkan warganya meninggalkan Lebanon pada Ahad. Kementerian luar negeri Bahrain mengeluarkan sebuah travel advisory yang menyebutkan "alasan keamanan".
 
Lebanon sedang berada dalam kekacauan setelah pengunduran diri tiba-tiba Perdana Menteri Saad al-Hariri saat berkunjung ke Arab Saudi pada Sabtu. Keberadaannya sejak saat itu belum diketahui. Namun, pejabat mengatakan Hariri mungkin berada di bawah tahanan rumah atau untuk sementara ditahan di ibu kota Saudi, Riyadh.
 
Partai Lebanon's Future Movement, yang diketuai oleh Hariri, menuntut Hariri segera kembali dari Arab Saudi pascapengunduran dirinya.
 
"Kembalinya perdana menteri Lebanon, pemimpin nasional, Saad al-Hariri, dan kepala Lebanon's Future Movement, diperlukan untuk memulihkan martabat dan penghormatan Lebanon di dalam dan luar negeri," kata seorang mantan perdana menteri, Fouad Siniora , dalam sebuah pernyataan di TV.
 
Presiden Lebanon, Michel Aoun, akan segera meminta bantuan dari masyarakat internasional, Liga Arab, Amerika Serikat, Inggris, Cina dan Rusia untuk membantu mengungkap alasan di balik pengunduran diri Hariri.
 
Kantor berita Reuters melaporkan pada Kamis, mengutip seorang pejabat senior Lebanon, bahwa pemerintah Lebanon belum menerima surat pengunduran diri Hariri secara resmi, dan karena itu masih menganggapnya sebagai perdana menteri. Pejabat tersebut menambahkan pembatasan yang diberlakukan oleh Arab Saudi dinilai sebagai serangan terhadap para pemimpin Lebanon.
 
Riyadh telah membantah perdana menteri berada di bawah tahanan rumah.
 
Dalam pengunduran dirinya pada 4 November, Hariri secara implisit menyalahkan Iran dan sekutunya Lebanon, Hizbullah, atas keputusannya. Dalam sambutannya, dia mengatakan ada ancaman terkait keselamatannya.
 
Ayahnya, Rafik Hariri - yang juga menjabat sebagai perdana menteri - tewas dalam serangan bom pada 2005. Banyak pendukung Hariri menyalahkan Hizbullah atas insiden tersebut. Namun Hizbullah membantah terlibat.Dalam pidatonya dari Riyadh, Saad al-Hariri mengatakan Iran menanam kekacauan dan perusakan di negara tersebut dan ikut campur dalam masalah internal Lebanon dan juga negara-negara Arab lainnya.
 
"Mereka telah membangun sebuah negara di dalam sebuah negara," kata Hariri dari Riyadh.
 
Langkahnya yang tak terduga juga memicu kekhawatiran akan adanya eskalasi di wilayah antara Iran dan negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, dengan Lebanon di garis depan.
 
Menteri perminyakan Saudi, Thamer al-Sabhanmengatakan Hizbullah terlibat dalam setiap tindakan teroris yang mengancam Arab Saudi. Hariri, seorang politikus Sunni terkemuka, telah menjabat kurang dari satu tahun, namun sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri antara tahun 2009 dan 2011.
 

 

 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement