Kamis 16 Nov 2017 11:49 WIB

Cerita dan Harapan Warga Irak Usai Gempa Mengguncang

Warga menyaksikan bangunan yang hancur akibat gempa di kota Kutub-Zahab di Provinsi Kermanshah, Iran, Senin (13/11). Gempa berkekuatan 7,2 besar melanda wilayah tersebut di sepanjang perbatasan antara Iran dan Irak pada (12/11), menewaskan sedikitnya 129 orang dan melukai lebih dari 300.
Foto: EPA-EFE / Abedin Taherkenareh
Warga menyaksikan bangunan yang hancur akibat gempa di kota Kutub-Zahab di Provinsi Kermanshah, Iran, Senin (13/11). Gempa berkekuatan 7,2 besar melanda wilayah tersebut di sepanjang perbatasan antara Iran dan Irak pada (12/11), menewaskan sedikitnya 129 orang dan melukai lebih dari 300.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- "Saya masih merasakan guncangan dan tak bisa bernafas ketika memikirkan malam yang menakutkan itu," Mohammeed Salah mengenang penderitaannya dan keluarganya selama gempa bumi 12 November di kota kelahirannya, Darbandikhan.

"Saya takkan pernah melupakan malam itu. Semuanya berguncang dan tanah bergerak. Kami bergegas ke luar dan tak berani kembali ke rumah kami," kata Salah.

Salah tidak sendirian!

Lebih dari 48 jam telah berlalu sejak gempa bumi dengan kekuatan 7,3 pada Skala Richter mengguncang Provinsi Sulaimaniyah, bagian timur laut Irak, tapi di kota Darbandikhan yang berada di dekat pusat gempa dan diguncang paling kuat, banyak warga masih menolak pulang ke rumah mereka. Mereka lebih memilih melewati malam yang dingin di taman umum atau di dalam tenda di kebun mereka.

Kareem Majed, yang berusia 63 tahun, dan puluhan warga lokal berkumpul di dekat satu bangunan yang ambruk. Mereka menunggu pembagian bantuan kemanusiaan oleh pejabat lokal dan organisasi internasional.

Rumah Majed rusak selama gempa tersebut. Ia menyelamatkan diri bersama keluarganya ke pegunungan yang berdekatan. "Rumah saya rusak parah dan kami hanya bisa hidup di tenda sekarang," katanya.

Di satu restoran di seberang jalan, Abu Mustafa (58 tahun) sangat sibuk membersihkan barang yang berantakan setelah gempa itu. Ia berkata, "Malam itu seperti kiamat. Pinggang dan tangan kanan saya luka ketika saya menyelamatkan diri selama gempa. Keluarga saya khawatir terhadap gempa susulan."

Dia dan keluarganya sekarang tinggal di satu taman, dan mereka harus menyalakan api untuk melawan udara dingin pada malam hari. "Saya tak pernah menyaksikan kejadian seperti gempa ini. Saya harap hidup kami akan kembali damai dan normal sesegera mungkin," kata Mustafa.

Dalam Bahasa Kurdis, Darbandikhan berarti warung kecil tapi nyaman di antara dua puncak gunung. Kota kecil tersebut, yang dikelilingi pegunungan di bagian timur laut Irak dan berada di dekat perbatasan dengan Iran, sejak dulu menjadi tempat yang terpencil dan tenang.

Namun pada malam itu, kedamaian dipecahkan oleh gempa mendadak yang menewaskan empat orang dan merusak ratusan rumah di sana. Di antara keempat orang yang tewas, dua adalah pengungsi dari Provinsi Salahuddin.

Pada 2014, kelompok garis keras ISIS menduduki banyak wilayah di Irak Barat dan Utara, dan Provinsi Salahuddin juga diserang. Banyak warga sipil Salahuddin tak memiliki pilihan selain meninggalkan rumah mereka dan tiba di Darbandikhan. Sebagian dari mereka tinggal di satu gedung empat lantai di pinggir jalan utama di kota yang damai itu.

Tiga tahun berlalu dan pasukan Irak terus membuat kemajuan dalam perang melawan gerilyawan ISIS dalam beberapa bulan belakangan, dan anggota ISIS kehilangan hampir semua kubu mereka di Irak. Sebagian besar pengungsi Salahuddin telah meninggalkan Darbandikhan dan pulang ke kota kelahiran mereka. Tapi, masih ada sembilan orang yang tinggal di Darbandikhan ketika gempa mengguncang.

Hanya sembilan orang diselamatkan dalam keadaan hidup setelah gedung tersebut ambruk dan dua lagi menemui ajal.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement