Senin 16 Apr 2018 21:07 WIB

Din Syamsuddin Ragukan Pengetahuan Trump Soal Kondisi Dunia

Trump dinilai terjebak obsesi AS negara adidaya tunggal di dunia.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Presiden AS, Donald Trump
Foto: thedailybeast.com
Presiden AS, Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Din Syamsuddin, mengaku meragukan pemahaman Presiden AS Donald Trump tentang kondisi dunia pasca-Perang Dingin. Menurutnya, dunia dengan segala dimensinya telah banyak berubah, termasuk dengan adanya pergeseran geopolitik dan geoekonomi.

Ia menilai Trump telah terjebak dalam sebuah persepsi, obsesi, dan bahkan mimpi yang bersifat halusinasi tentang posisi AS dalam konteks global. Din menegaskan, faktanya Amerika saat ini tidak lagi menjadi negara adidaya tunggal, karena masih banyak negara adidaya lainnya.

"Tidak ada hal lain yang dapat disampaikan kecuali saran kepada Presiden Donald Trump untuk sadar terhadap realitas dunia dan sadar terhadap posisinya sebagai kepala negara Amerika Serikat," kata Din Syamsuddin kepada Republika.co.id, Senin (16/4).

Din juga mengaku khawatir Trump tidak cukup punya pengetahuan mengenai apa yang sebenarnya tengah terjadi di dunia, khususnya dunia Islam dan kawasan TimurTengah. Menurut dia, keputusan-keputusan militer AS di Timur Tengah bisa memberikan dampak yang justru akan merugikan AS sendiri.

"Sesungguhnya pasca-11 September yang kemudian melahirkan pola hubungan AS, Eropa, Barat dengan dunia Islam, yang menimbulkan reaksi anti-Amerikanisme, anti-westernisme, dan disikapi dengan islamofobia, akhirnya merugikan Amerika dan Barat itu sendiri," kata dia.

Ia menambahkan, walaupun AS dan Trump sepertinya berhasil menguasai dan menjinakkan negara-negara Islam tententu, tetapi dia lupa langkahnya itu akan menggerakkan rakyat yang berada di lapisan bawah. Hal tersebut yang dinilai menjadi penyebab munculnya radikalisasi di dunia Islam.

Kekerasan yang bersifat fisik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal merupakan bentuk perlawanan terhadap negara-negara besar. Negara-negara tersebut sebenarnya juga telah melakukan kekerasan, yaitu kekerasan modal atau capital-violence dan kekerasan negara atau state-violence.

"Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali harus ada desakan kepada PBB atau PBB itu sendiri yang mencoba menghentikan perilaku-perilaku itu," ujar Din.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement