Selasa 22 May 2018 18:56 WIB

Hukuman Mati untuk Perempuan-Perempuan ISIS

Jika terbukti gabung ISIS, Boutoutao akan hadapi hukuman seumur hidup atau gantung

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Bilal Ramadhan
Militan ISIS di Irak dan Suriah memperbudak perempuan dari kelompok agama minoritas Yazidi di Utara Irak.
Foto: Reuters
Militan ISIS di Irak dan Suriah memperbudak perempuan dari kelompok agama minoritas Yazidi di Utara Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Di sebuah ruang kecil di pengadilan Baghdad, Djamila Boutoutao (29 tahun) terlihat memeluk putrinya yang berusia dua tahun sambil memohon bantuan. Perempuan berkewarganegaraan Prancis itu dituduh telah bergabung dengan kelompok ISIS dan saat ini tengah menghadapi dakwaan.

"Saya marah di sini. Saya sedang menghadapi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Tidak ada yang memberitahu saya mengenai apa pun, entah itu duta besar atau petugas penjara," ungkapnya dengan tatapan datar.

Boutoutao tidak sendirian. Beberapa perempuan yang sebagian besar berasal dari Asia Tengah juga ada di ruangan itu. Mereka semua kehilangan suami, dan ada pula yang kehilangan anak-anak, setelah ISIS berhasil dikalahkan di Irak tahun lalu.

"Jangan biarkan mereka membawa putri saya pergi. Saya bersedia menawarkan sejumlah uang jika Anda dapat menghubungi orang tua saya. Tolong keluarkan saya dari sini," kata Boutoutao kepada salah satu petugas pengadilan.

Setelah itu, ia kembali ke pojok ruangan untuk menunggu hakim di ruang sebelah memanggilnya. Tidak ada pejabat Prancis yang hadir dan tidak ada akses apa pun yang bisa menghubungkannya dengan kota kelahirannya di Lille.

Jika terbukti bergabung dengan kelompok ISIS, Boutoutao akan menghadapi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman gantung. Sebanyak 15 perempuan yang ada di pengadilan ini telah berstatus janda akibat perang yang akhirnya dapat menggulingkan kekuasaan ISIS.

Dalam sejumlah kasus, para perempuan tersebut mengaku bepergian sendiri atau dengan suami mereka dari Eropa dan Asia Tengah, demi bergabung dengan ISIS di tanah yang telah dijanjikan. The Guardian melaporkan, lebih dari 40 ribu orang asing dari 110 negara diperkirakan telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan kelompok radikal tersebut.

Dari jumlah itu, sekitar 1,900 di antaranya adalah warga negara Prancis, dan sekitar 800 lainnya adalah warga negara Inggris. Boutoutao sendiri tiba di Irak pada 2014 bersama suaminya, Mohammed Nassereddine, dan dua anaknya.

Nassereddine terbunuh di Mosul pada 2016, yang kemudian disusul putranya, Abdullah, satu tahun kemudian. Boutoutao kemudian ditangkap oleh pasukan peshmerga Kurdi di Irak utara dan akhirnya dikirim ke Baghdad.

Hidupnya berakhir di sebuah pengadilan di pusat ibu kota Baghdad yang telah lama menjadi titik fokus era setelah ISIS. Sebanyak 1.000 perempuan yang dituduh sebagai anggota ISIS telah ditangkap dan ditahan di Irak.

Sedikitnya ada 820 bayi yang menemani mereka, dan bahkan ada beberapa yang belum dilahirkan. Proses pengadilan akan berjalan begitu singkat, hanya 10 menit untuk satu terdakwa.

Pengadilan Baghdad sejauh ini telah memvonis mati 40 perempuan ISIS, dan menjebloskan puluhan lainnya ke penjara. Dalam setiap kasus, satu dari tiga hakim akan mengajukan beberapa pertanyaan singkat.

Seorang jaksa kemudian akan membuat pernyataan singkat, dan seorang pengacara juga akan membacakan pembelaan dengan singkat. Di luar ruangan sidang, salah satu pengacara yang ditunjuk negara mengatakan dia tidak dapat berbicara dengan kliennya. Ia hanya diperbolehkan untuk melihat ringkasan dari catatan investigasi.

Human Rights Watch mengatakan, selama dua tahun terakhir tidak ada tanda-tanda pengacara telah memainkan peran yang lebih proaktif di pengadilan. Keadilan justru bergantung pada naluri seorang hakim.

"Saya telah bekerja di sini selama 10 tahun dan saya dapat mengetahui siapa yang tidak bersalah hanya dengan melihat pandangan di mata mereka. Saya dapat memberi tahu Anda cerita horor dan saya dapat berbagi momen ajaib," ujar salah seorang hakim yang tidak disebutkan namanya.

Petugas pengadilan yang membawa perempuan-perempuan itu keluar masuk ruangan sidang mengatakan, sebagian besar dari mereka tidak akan bertaubat. "Seorang tahanan ISIS pernah meminta saya untuk memberikan sesuatu yang tidak bisa saya berikan, kemudian dia menyebut saya kafir," ungkap petugas itu.

Prancis dan negara-negara Eropa lainnya menunjukkan sikap bermusuhan terhadap warga negara mereka yang sekarang tengah menghadapi pengadilan Irak. Negara-negara itu bersikeras mereka harus menghadapi peradilan lokal di luar negeri.

Pemerintah Prancis telah menunjukkan kelonggaran terhadap anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat pertempuran. Namun tidak satu pun kemudahan diberikan kepada orang dewasa yang membuat keputusan untuk bergabung dengan ISIS.

Awal tahun ini, Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mengatakan para militan yang berhasil kembali ke Prancis akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Sementara bagi mereka yang terjebak di Irak, harus menjalani hukuman sesuai dengan putusan pengadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement