Rabu 23 May 2018 12:46 WIB

Hukuman Mati untuk Perempuan-Perempuan ISIS

Pengadilan Baghdad sejauh ini telah memvonis mati 40 perempuan ISIS

Warga Irak merayakan kemenangan militer yang berhasil mengalahkan ISIS di Tahrir Square, Baghdad, Irak, Ahad (10/12).
Foto: AP Photo/Karim Kadim
Warga Irak merayakan kemenangan militer yang berhasil mengalahkan ISIS di Tahrir Square, Baghdad, Irak, Ahad (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID,Di sebuah ruang kecil di pengadilan Baghdad, Djamila Boutoutao (29 tahun) terlihat memeluk putrinya yang berusia dua tahun sambil memohon bantuan. Perempuan berkewarganegaraan Prancis itu dituduh telah bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan saat ini tengah menghadapi dakwaan.

"Saya marah di sini. Saya sedang menghadapi hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Tidak ada yang memberi tahu saya mengenai apa pun, entah itu duta besar atau petugas penjara," ungkapnya dengan tatapan datar.

Boutoutao tidak sendirian. Beberapa perempuan yang sebagian besar berasal dari Asia Tengah juga ada di ruangan itu. Mereka semua kehilangan suami, dan ada pula yang kehilangan anak-anak, setelah ISIS berhasil dikalahkan di Irak tahun lalu.

"Jangan biarkan mereka membawa putri saya pergi. Saya bersedia menawarkan sejumlah uang jika Anda dapat menghubungi orang tua saya. Tolong keluarkan saya dari sini," kata Boutoutao kepada salah satu petugas pengadilan. Jika terbukti bergabung dengan kelompok ISIS, Boutoutao akan menghadapi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman gantung.

Sebanyak 15 perempuan yang ada di pengadilan ini telah berstatus janda akibat perang yang akhirnya dapat menggulingkan kekuasaan ISIS. Dalam sejumlah kasus, para perempuan tersebut mengaku bepergian sendiri atau dengan suami mereka dari Eropa dan Asia Tengah, demi bergabung dengan ISIS di tanah yang telah dijanjikan.

//The Guardian melaporkan, lebih dari 40 ribu orang asing dari 110 negara diperkirakan telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan kelompok radikal tersebut. Dari jumlah itu, sekitar 1.900 di antaranya adalah warga negara Prancis, dan sekitar 800 lainnya adalah warga negara Inggris.

Sebanyak 1.000 perempuan yang dituduh sebagai anggota ISIS telah ditangkap dan ditahan di Irak. Sedikitnya ada 820 bayi yang menemani mereka, dan bahkan ada beberapa yang belum dilahirkan. Proses pengadilan akan berjalan begitu singkat, hanya 10 menit untuk satu terdakwa. Pengadilan Baghdad sejauh ini telah memvonis mati 40 perempuan ISIS, dan menjebloskan puluhan lainnya ke penjara.

Human Rights Watch mengatakan, selama dua tahun terakhir tidak ada tanda-tanda pengacara telah memainkan peran yang lebih proaktif di pengadilan. Keadilan justru bergantung pada naluri seorang hakim.

"Saya telah bekerja di sini selama 10 tahun dan saya dapat mengetahui siapa yang tidak bersalah hanya dengan melihat pandangan di mata mereka. Saya dapat memberi tahu Anda cerita horor dan saya dapat berbagi momen ajaib," ujar salah seorang hakim yang tidak disebutkan namanya.

Petugas pengadilan yang membawa perempuan-perempuan itu keluar-masuk ruangan sidang mengatakan, sebagian besar dari mereka tidak akan bertobat. "Seorang tahanan ISIS pernah meminta saya untuk memberikan sesuatu yang tidak bisa saya berikan, kemudian dia menyebut saya kafir," ungkap petugas itu.

Prancis dan negara-negara Eropa lainnya menunjukkan sikap bermusuhan terhadap warga negara mereka yang sekarang tengah menghadapi pengadilan Irak. Negara-negara itu bersikeras mereka harus menghadapi peradilan lokal di luar negeri.

Awal tahun ini, Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengatakan, para militan yang berhasil kembali ke Prancis akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Sementara, bagi mereka yang terjebak di Irak, harus menjalani hukuman sesuai dengan putusan pengadilan.

Hancurnya ISIS ternyata tidak menjadi jaminan sel-sel terorisnya mati. Lenyapnya mereka di dunia nyata tak menghalangi aksi mereka di dunia maya dan menjadi ancaman melalui internet.

ISIS diduga telah membangun operasi eksternal dalam dua tahun terakhir. Mereka bahkan telah mengklaim berada di balik sekurangnya 20 serangan di sejumlah kepentingan Barat sejak Januari lalu. Hal ini diungkap penjabat direktur intelijen di Pusat Kontraterorisme Nasional atau National Counterterrorism Center, Lora Shiao.

"Sayangnya, kehilangan teritori bagi ISIS bukan berarti berkurangnya kemampuan untuk melakukan serangan," ujar Shiao di hadapan komite di Senat AS, akhir 2017 silam.

Kapasitas ISIS untuk menjangkau para simpatisan mereka melalui media sosial, kata Shiao, luar biasa. Berkat ineternet, mereka jadi memiliki akses ke banyak ekstremis di dalam negeri. n reuters ed: yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement