Senin 04 Jun 2018 14:45 WIB

KBRI Riyadh Selamatkan Dua WNI dari Hukuman Mati

Dua WNI asal Sumbawa lolos dari hukuman mati di Arab Saudi.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Hukuman Mati/ilustrasi
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman Mati/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- KBRI Riyadh berhasil menyelamatkan dua warga negara Indonesia (WNI) bernama Sumiyati binti Muhammad Amin dan Masani binti Syamsuddin Umar dari hukuman mati di Arab Saudi. Dua WNI asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu lolos dari hukuman mati setelah Pengadilan Banding menolak tuntutan qisas terhadap keduanya.

Menurut keterangan resmi KBRI Riyadh, kasus hukum Sumiyati dan Masani bermula dari penangkapan keduanya oleh aparat kepolisian Saudi pada 27 Desember 2014. Mereka dituduh melakukan sihir/santet sehingga anak majikan mereka menderita sakit permanen.

Mereka juga dituduh telah bersekongkol untuk membunuh majikan mereka, Hidayah binti Hadijan Mudfa al-Otaibi, dengan cara menyuntikan zat lain yang dicampur dengan insulin ke tubuh Hidayah yang tengah menderita diabetes. Hal tersebut membuat Hidayah meninggal dunia.

KBRI Riyadh kemudian melakukan pendampingan intensif bagi kedua WNI itu dalam menjalani proses hukum di persidangan. KBRI secara rutin melakukan kunjungan ke penjara untuk membekali keduanya dalam menghadapi proses pemeriksaan persidangan.

Dalam sidang ke-10 yang diselenggarakan pada 20 Februari 2016, Pengadilan Pidana Kota Dawadmi memutuskan perkara kasus sihir Sumiyati dan Masani dengan menjatuhkan hukuman ta'zir (dera). Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara di Kota Dawadmi selama 1,5 tahun untuk Sumiyati dan 1 tahun untuk Masani. Putusan tersebut didasarkan pada bukti pengakuan keduanya saat penyidikan, yang dilegalisasi pengadilan.

Dalam persidangan yang digelar pada 10 Agustus 2017, pengadilan memutuskan untuk menolak tuntutan qisas terhadap keduanya. Salah seorang ahli waris korban, Sinhaj Al Otaibi, di persidangan mencabut hak tuntutan qisas terhadap Sumiyati dan Masani tanpa menuntut kompensasi apapun.

Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi Maftuh Abegebriel menjelaskan, sebuah tuntutan qisas harus dilakukan secara konsensus di antara para ahli waris korban. Apabila ada salah satu anggota keluarga mencabut, maka tuntutan tersebut menjadi gugur.

"Itu ada ketentuan yang sangat dikenal dalam al-Tasyri' al-Jina'iy" atau hukum pidana Islam," ujar Maftuh, yang juga dosen Hadis Hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan KBRI Riyadh.

Atas putusan tersebut, anggota keluarga lain yang dimotori oleh Fahad al-Otaibi bersikukuh untuk mengajukan banding. Namun Pengadilan Banding pada akhir 2017 menguatkan putusan Pengadilan Pidana Dawadmi yang menolak tuntutan qisas terhadap Sumiyati dan Masani yang masih bersaudara tersebut.

Dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, KBRI melanjutkan proses pencabutan tindakan pencegahan kedua WNI itu untuk keluar dari Arab dan pengajuan proses exit permit dari kantor imigrasi. Maftuh juga menjelaskan, kepulangan Sumiyati dan Masani akan didampingi langsung oleh Atase Hukum (Atkum) KBRI Riyadh, Muhibuddin Thaib, seorang jaksa karir dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung yang pernah bertugas di KPK.

Muhibuddin adalah seorang diplomat santri asal Aceh yang sangat memahami hukum pidana Islam (tasyri' jina'iy). Oleh karena itu, proses pendampingan WNI yang sedang terdera masalah hukum di Saudi bisa tertangani secara komprehensif.

Di samping memberikan pendampingan hukum, KBRI Riyadh juga melakukan diplomasi antropologis dengan melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh kabilah/suku. Tujuannya adalah untuk mencari solusi seperti yang sudah dilakukan oleh KBRI Riyadh, misalnya dengan melakukan lobi tengah malam di kawasan pedalaman Saudi dan bahkan melakukan pertemuan informal di tengah-tengah peternakan kambing.

Menurut Maftuh, berkaca dari kasus hukum Sumiyati dan Masani, penanganan permasalah hukum WNI khususnya kasus hukuman mati akan sangat efektif apabila sejak awal proses penyidikan kasusnya dapat dilacak. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap proaktif para garda depan diplomasi. "Dan ke depan perlu adanya penguatan para diplomat ahli hukum pidana Islam untuk pendampingan masalah-masalah hukum yang banyak menimpa ekspatriat Indonesia di Arab Saudi ini," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement