Kamis 09 Aug 2018 16:30 WIB

Kerugian 7 Tahun Perang Suriah Capai 400 Miliar Dolar AS

Laporan lengkap tentang dampak perang Suriah baru dirilis September.

Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.
Foto: EPA/STR
Suasana kota di Suriah yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Perang tanpa henti selama tujuh tahun telah menyebabkan Suriah mengalami kerugian hampir 400 miliar dolar AS. Angka itu dirilis setelah 50 ahli Suriah dan internasional bertemu di acara United Nation's Economic and Social Commission for Western Asia (ESCWA) di Lebanon pada Rabu (8/8).

Menurut ESCWA, volume penghancuran dalam modal fisik dan distribusi sektoral di Suriah diperkirakan mencapai lebih dari 388 miliar dolar AS.

"Angka itu belum termasuk kerugian manusia yang dihasilkan dari kematian atau hilangnya kompetensi manusia dan tenaga kerja terampil karena perpindahan, yang dianggap sebagai hal yang paling penting dari ekonomi Suriah," kata ESCWA, dikutip laman Al Araby.

Baca juga, AS Kecam Bom Rusia dan Suriah yang Tewaskan Oposisi.

Kendati demikian, ESCWA belum dapat merinci semua kerugian ekonomi yang diderita Suriah selama konflik. ESCWA mengatakan laporan lengkap tentang dampak perang Suriah akan dirilis pada September mendatang.

Lebih dari setengah juta orang tewas selama konflik sipil Suriah berlangsung. Konflik pun menyebabkan lebih dari 10 juta penduduk Suriah mengungsi ke berbagai belahan dunia. Sementara 6,2 juta warga Suriah lainnya menjadi pengungsi di dalam negeri.

Sejumlah upaya perundingan perdamaian yang diinisiasi dan dimediasi PBB selalu buntu. Pada Desember 2017, perundingan damai Suriah putaran kedelapan yang digelar di Jenewa, Swiss, berakhir tanpa hasil apapun.

Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura menerangkan, kegagalan perundingan tersebut karena delegasi pemerintah Bashar al-Assad mengajukan prasyarat untuk melakukan pemibcaraan langsung dengan oposisi.

Menurut kepala delegasi rezim Pemerintah Suriah, Bashar al-Jaafari, mereka tidak akan melakukan pembicaraan langsung dengan oposisi sebelum menarik diri dari deklarasi Riyadh 2. Deklarasi Riyadh 2 merupakan sebuah pernyataan oposisi yang menolak Presiden Suriah Bashar al-Assad terlibat dalam proses transisi politik di negara tersebut.

De Mistura menilai, prasyarat yang memaksa oposisi untuk menarik diri dari deklarasi Riyadh 2 bukanlah pendekatan logis dan memungkinkan oleh pihak pemerintah. Memperhatikan prasyarat yang diajukan, de Mistura menduga PemerintahSuriah memang tak sungguh-sungguh ingin menemukan solusi melalui negosiasi dengan oposisi.

photo
Perang Suriah

Namun pada Januari lalu, kemajuan mulai tampak setelah perwakilan pemerintah dan oposisi Suriah menyepakati pembentukan komite konstitusional. Komite itu terdiri dari pemerintah, perwakilan oposisi dalam perundingan intra-Suriah di Jenewa (Swiss), pakar Suriah, masyarakat sipil, pemimpin suku, dan kaum perempuan.

Menurut de Mistura penyusunan konstitusi baru Suriah memang bukan pekerjaan mudah. Namun pekerjaan itu harus dituntaskan. Terkait hal ini, menurut de Mistura, perwakilan Suriah membutuhkan tempat yang aman dan netral untuk menyusun konstitusi.“Semua rakyat Suriah saat ini membutuhkan gencatan senjata yang berkelanjutan, akses kemanusiaan penuh, dan pembebasan tahanan,” ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement