Selasa 28 Aug 2018 14:00 WIB

Prancis Nilai Suriah Harus Lakukan Transisi Pemerintahan

Macron menilai pemulihan kondisi Suriah dengan Assad adalah kesalahan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP Photo/Thibault Camus
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan memulihkan kondisi di Suriah dengan tetap mempertahankan Bashar al-Assad sebagai pemimpinnya akan menjadi sebuah kesalahan fatal. Menurut Macron, saat ini saja Assad berpotensi menciptakan krisis kemanusiaan baru di Provinsi Idlib.

“Situasinya mengkhawatirkan. Rezim (Suriah) tidak menunjukkan kesediaan untuk merundingkan transisi politik,” kata Macron dalam pidatonya di konferensi duta besar tahunan di Paris pada Senin (27/8), dikutip laman Anadolu Agency.

Namun, Macron menolak bila dia disebut memaksa Assad untuk mundur dari jabatannya sebagai pengganti bantuan kemanusiaan yang disalurkan Prancis ke Suriah. Ia berpendapat memang sudah tiba masanya Suriah melakukan transisi pemerintahan.

“Prancis tidak bisa menunjuk pemimpin Suriah di masa depan, tapi itu adalah tugas dan kepentingan kita untuk memastikan bahwa rakyat Suriah dapat melakukan ini,” ujar Macron.

Konflik Suriah telah berlangsung selama sekitar tujuh tahun. Konflik itu telah menyebabkan lebih dari setengah juta orang tewas dan 10 juta lainnya mengungsi.  Menurut United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UNESCWA), sejak meletus pada 2011, perang Suriah juga telah menimbulkan kerugian sebesar 388 miliar dolar AS. “Angka itu belum termasuk kerugian manusia yang dihasilkan dari kematian atau hilangnya kompetensi manusia dan tenaga kerja terampil karena perpindahan, yang dianggap sebagai hal yang paling penting dari ekonomi Suriah," kata UNESCWA pada awal Agustus lalu.

Kendati demikian, UNESCWA belum dapat merinci semua kerugian ekonomi yang diderita Suriah selama konflik. UNESCWA mengatakan laporan lengkap tentang dampak perang Suriah akan dirilis pada September mendatang.

PBB telah berulang kali berupaya menginisiasi perundingan perdamaian antara pemerintah Suriah dan kubu oposisi. Pada Desember 2017, perundingan damai Suriah putaran kedelapan yang digelar di Jenewa, Swiss, berakhir tanpa hasil apapun. Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura menerangkan, kegagalan perundingan tersebut karena delegasi pemerintah Bashar al-Assad mengajukan prasyarat untuk melakukan pembicaraan langsung dengan oposisi.

Prasyarat yang diajukan delegasi pemerintah adalah menuntut oposisi menarik diri dari Deklarasi Riyadh 2. Deklarasi itu merupakan sebuah pernyataan oposisi yang menolak Assad terlibat dalam proses transisi politik di negara tersebut.

Namun pada Januari lalu, kemajuan mulai tampak setelah perwakilan pemerintah dan oposisi Suriah menyepakati pembentukan komite konstitusional. Komite itu terdiri dari pemerintah, perwakilan oposisi dalam perundingan intra-Suriah di Jenewa, pakar Suriah, masyarakat sipil, dan para pemimpin suku.

Menurut de Mistura penyusunan konstitusi baru Suriah memang bukan pekerjaan mudah, tapi  itu harus dituntaskan. Terkait hal ini, menurut de Mistura, perwakilan Suriah membutuhkan tempat yang aman dan netral untuk menyusun konstitusi. “Semua rakyat Suriah saat ini membutuhkan gencatan senjata yang berkelanjutan, akses kemanusiaan penuh, dan pembebasan tahanan,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement