Jumat 16 Nov 2018 05:30 WIB

Sejumlah Negara Dukung Hukuman Mati untuk Pembunuh Khashoggi

Kejaksaan Saudi belum memberikan nama mantan wakil kepala intelijen tersebut.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi Jamal Khashoggi
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Jamal Khashoggi

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Sebanyak tiga negara, Perancis, Mesir, dan Bahrain menyatakan dukungan kepada Kerajaan Saudi untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada otak dan pelaku pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Kashoggi. 

Kantor Berita Arab Saudi, Alarabiya, Kamis (15/11) melaporkan, Menteri Luar Negeri Saudi, Adel Al-Jubeir menyatakan bahwa Kejaksaan Umum Arab Saudi terus melakukan penyelidikan. Selain itu, Kejaksaan juga telah menyerukan hukuman mati terhadap mereka yang terlibat dalam kasus tersebut.

Kementerian Luar Negeri Prancis menilai, langkah Saudi yang mulai membawa para pelaku terduga ke ranah pengadilan merupakan langkah yang sangat tepat. Sementara, Kerjaaan Bahrain menegaskan kembali dukungan penuh untuk mengusut tuntas kasus ini.

Bahrain pun meminta agar tidak ada politisasi atau eksploitasi masalah serta tuduhan terhadap Kerajaan Arab Saudi. Pernyataan Bahrain itu menegaskan bahwa Arab Saudi adalah basis stabilitas dan perdamaian di kawasan dan dunia.

Sedangkan pemerintah Mesir berpandangan sama dengan Kerajaan Bahrain. Mesir turut mendukung sekaligus meminta agar semua pihak tidak mempolitisasi kasus pembunuhan Kashoggi. Selain tiga negara tersebut, Saudi juga mendapatkan dukungan dari Liga Arab, Dewan Kerjasama Teluk, hingga Presiden Palestina Mahmoud Abbas.

"Kami percaya pada integritas dan kemandirian pengadilan Saudi serta menolak politisasi kasus Khashoggi,” kata Abbas.

Sebelumnya, seperti dilansir Aljazeera, Kejaksaan Arab Saudi menyatakan, telah menyiapkan hukuman mati bagi lima orang otak pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi di gedung Konsulat Saudi di Istanbul. Namun, kejaksaan belum menjelaskan siapa saja lima orang tersebut. 

Wakil Jaksa Penuntut Umum Arab Saudi, Shalan Al-Shalan mengatakan, rentetan insiden pembunuhan itu terjadi sejak tanggal 29 September 2018. Menurut Shalan, insiden itu dimulai ketika seorang mantan wakil kepala intelijen Saudi memerintahkan pemimpin misi untuk membawa Kashoggi kembali ke Saudi. Jika ajakan gagal, maka harus dipaksa.

Namun, hingga saat ini, kantor Kejaksaan Saudi belum memberikan nama mantan wakil kepala intelijen tersebut. Sementara, Jenderal Ahmad Al-Assiri yang kini telah dipecat oleh Kerajaan Saudi dari jabatan wakil kepala intelijen telah dinyatakan terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Pemimpin misi -yang tidak disebutkan namanya- itu kemudian mengumpulkan tim beranggotakan 15 orang untuk memaksa Kashoggi kembali ke Saudi. Dari 15 anggota tim, terdapat seorang ahli forensik yang bertugas untuk menghilangkan bukti-bukti dari tempat kejadian jika terjadi sesuatu.

“Pada tanggal 2 Oktober 2018, pagi hari, ternyata pemimpin tim melihat bahwa Kashoggi tidak akan bisa dipaksa kembali. Jadi dia memutuskan untuk membunuhnya saat itu juga,” kata Shalan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement