Kamis 22 Nov 2018 09:07 WIB

Dituduh Terlibat Perang Yaman, Putra Mahkota UEA Digugat

Putra Mahkota dinilai telah memerintahkan pengeboman.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Kondisi wilayah di Sanaa, Yaman, akibat perang antara milisi Houthi dan pendukung Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Foto: Reuters
Kondisi wilayah di Sanaa, Yaman, akibat perang antara milisi Houthi dan pendukung Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sebuah kelompok hak asasi Prancis, Alliance for the Defence of Rights and Freedoms (AIDL), menggugat Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Muhammad bin Zayed al-Nahyan atas tuduhan terlibat dalam perang di Yaman. AIDL menuduh Al-Nahyan melakukan kejahatan perang, serta terlibat dalam penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi di Yaman.

"Dalam kapasitas ini, dia telah memerintahkan pengeboman di wilayah Yaman," tulis AIDL dalam dokumen gugatan yang diajukan oleh pengacara Joseph Breham pada Rabu (21/11). Gugatan itu diajukan ke pengadilan Paris, selama kunjungan Al-Nahyan ke Prancis.

Gugatan terhadap Al-Nahyan didasari pada laporan para ahli PBB yang mengatakan serangan pasukan koalisi pimpinan Saudi di Yaman mungkin merupakan kejahatan perang. Penyiksaan juga dilakukan di dua fasilitas penahanan yang dikendalikan oleh pasukan UEA.

Aljazirah melaporkan, UEA adalah salah satu negara koalisi yang terlibat dalam perang di Yaman. Mereka secara teratur mengambil bagian dalam serangan pengeboman.

Baca juga, Saudi dan Uni Emirat Arab Tawarkan 500 Juta Dolar untuk Yaman.

Salah satu kasus yang disebut dalam gugatan itu adalah pengeboman sebuah bangunan di ibu kota Sanaa pada 2016. Gugatan ini mirip dengan yang diajukan pada April lalu terhadap Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman saat berkunjung ke Prancis.

Kejaksaan Prancis memperkirakan, proses hukum terhadap gugatan itu akan berlangsung selama setahun. Prancis adalah sekutu dekat UEA dan Arab Saudi, yang memimpin koalisi untuk memerangi kelompok Houthi yang mengendalikan sebagian besar Yaman utara dan ibu kota Sanaa.

Selama beberapa pekan terakhir, Presiden Prancis Emmanuel Macron mendapat banyak tekanan atas penjualan senjata Prancis ke dua negara Teluk itu. Prancis juga memiliki pangkalan militer di Abu Dhabi yang dibuka pada 2009.

Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa negara Barat menyerukan gencatan senjata untuk mengakhiri perang di Yaman yang telah berlangsung selama hampir empat tahun dan telah menewaskan lebih dari 10 ribu orang.

Perang tersebut telah menyebabkan krisis kemanusiaan paling mendesak di dunia.

Badan-badan PBB mengatakan, 14 juta warga Yaman berisiko kelaparan jika pelabuhan Hudaidah ditutup karena pertempuran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement