Rabu 15 Nov 2017 09:11 WIB

Lebanon Khawatir Dikucilkan Seperti Qatar oleh Saudi

Salah satu sudut Kota Beirut.
Foto: rasktravel.com
Salah satu sudut Kota Beirut.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Sejumlah politikus dan bankir Lebanon mengaku khawatir Arab Saudi akan menerapkan pengucilan diplomatik dan ekonomi seperti yang dilakukan Riyadh terhadap Qatar. Namun, tidak seperti Qatar, yang kaya akan minyak dan hanya berpenduduk 400 ribu jiwa, Lebanon tidak mempunyai cadangan alam atau keuangan cukup untuk bertahan terhadap pengucilan Arab Saudi.

Lebanon hanya mengandalkan kiriman senilai tujuh-delapan miliar dolar AS per tahun dari 400 ribu warganya, yang bekerja di negara Teluk. Bagi pemerintah, yang tengah terlilit utang, kiriman itulah yang kini menjadi sumber untuk menggerakkan perekonomian.

"Ini sungguh-sungguh ancaman bagi perekonomian Lebanon, yang tengah lesu. Jika mereka menghentikan pengiriman, maka akan terjadi bencana," kata pejabat tinggi Lebanon kepada Reuters.

Ancaman itu datang dari mantan perdana menteri mereka, Saad al-Hariri, yang "mundur" pada 4 November dalam siaran langsung televisi dari Riyadh. Beberapa politikus Lebanon menduga Hariri dipaksa mundur oleh keluarga kerajaan Saud.

Dalam undur diri itu, dia membacakan syarat yang ditetapkan Arab Saudi agar Lebanon terhindar sanksi. Syarat itu adalah mundurnya Hizbullah--sebuah kelompok milisi bersenjata sekutu Iran di Lebanon--dari beberapa konflik regional, terutama Yaman. Pengunduran diri Hariri tersebut membuat Lebanon menjadi pusat baru sengketa lama Arab Saudi dengan Iran.

Beberapa pengulas mengatakan sikap non-konfrontasional Saudi terhadap Lebanon kini sudah hilang di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammad bin Salman yang baru berusia 32 tahun. Pangeran Mohammad adalah penguasa de fakto Arab Saudi dengan kendali penuh atas militer, politik, dan ekonomi.

Namun, banyak pihak yang masih meragukan efektivitas langkah sang putra mahkota. Iran dan Hizbullah bisa saja bersikeras tidak mau memenuhi tuntutan dari Riyadh.

"Hizbullah mungkin akan berpura-pura menyepakati konsesi, namun mereka tidak akan menyerah begitu saja terhadap tuntutan Arab Saudi," kata sumber, yang dekat dengan kelompok milisi tersebut.

Pengamat Lebanon Sarkis Naoum menduga Riyadh menyuruh Hariri kembali ke Lebanon dan menekan Presiden Michael Aoun untuk membuka dialog soal intervensi Hizbullah dalam konflik regional. "Mereka harus bisa menetapkan sikap yang bisa memuaskan keluarga Saud," kata Naoum.

"Ancaman sanksi itu dibacakan dengan jelas. Mereka ingin Lebanon tidak berhubungan dengan Hizbullah," kata sumber, yang dekat dengan Hariri.

Kekerasan sikap Saudi terhadap Lebanon terjadi akibat kegagalan sejumlah agenda politik luar negeri keluarga kerajaan. Riyadh kini masih belum bisa memenangkan peperangan yang mereka mulai untuk memberangus milisi sekutu Iran di Yaman, Houthi sejak 2015.

Saudi menuding Iran dan Hizbullah telah mendukung Houthi. Hizbullah bahkan dituding menjadi dalang penembakan rudal kendali dari Yaman dengan sasaran Riyadh pada bulan ini.

Keterlibatan Hizbullah dan Iran di Suriah juga berkontribusi besar pada kemenangan Presiden Bashar al Assad yang kini semakin mendesak kelompok gerilyawan yang didukung Saudi. Hizbullah, sebuah gerakan yang punya pasukan perang besar ditambah beberapa perwakilan di pemerintahan dan parlemen, adalah senjata Iran di kawasan Timur Tengah.

Beberapa sumber politik Lebanon mengatakan sanksi yang kemungkinan akan diterapkan Saudi di antaranya adalah larangan penerbangan, visa, ekspor, dan transfer remitansi. Sanksi itu pernah diterapkan terhadap Qatar. Namun, terhadap negara kaya itu, sanksi Saudi tidak banyak berdampak, malah justru semakin mendekatkan Qatar ke Iran.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement