Senin 14 Jan 2019 13:13 WIB

Iran Merancang Bahan Bakar Nuklir Sendiri

Iran tidak ingin merekayasa ulang bahan bakar nuklir rancangan orang lain.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.
Foto: Reuters/ISNA/Hamid Forootan/Files
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kepala Badan Nuklir Iran Ali Akbar Salehi mengatakan negaranya sedang membuat rancangan awal bahan bakar uranium dengan kemurnian 20 persen untuk reaktor-reaktor nuklir mereka. Salehi mengatakan dengan begitu Iran tidak lagi menyalin rancangan dari negara lain.

"Kami sudah membuat kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan industri nuklir, sehingga alih-alih melakukan rekayasa ulang yang dirancang orang lain kami merancang bahan bakar kami sendiri," kata Salehi di stasiun televisi Iran, IRIB, Senin (14/1).

Dalam perjanjian nuklir Iran 2015 yang ditandatangani bersama negara-negara maju Iran dilarang melakukan pengkayaan uranium lebih dari 3,67 persen. Jumlah itu jauh di bawah pengkayaan yang Iran lakukan sebelum perjanjian itu yakni sebesar 20 persen. Namun, Iran masih diizinkan memproduksi bahan bakar nuklir tapi tetap dengan syarat.

Syaratnya pembuatan bahan bakar nuklir itu harus disetujui oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh penandatangan kesepakatan nuklir Iran 2015. Iran juga tidak diizinkan mengkonversi bahan bakar nuklir menjadi Uranium heksafluorida, senyawa yang digunakan pada proses pengayaan uranium untuk memproduksi bahan bakar untuk digunakan pada reaktor nuklir dan senjata nuklir.

"Langkah-langkah awal rancangan bahan bakar 20 persen yang modern sudah dimulai dan kami hampir mencapainya, produk ini berbeda dari bahan bakar 20 persen sebelumnya, dan kami bisa memasok bahan bakar ke reaktor yang dibangun seperti reaktor Teheran. Reaktor Teheran sejauh ini menggunakan bahan bakar lama tapi bahan bakar modern bisa meningkatkan efektivitas," kata Salehi.

Pejabat-pejabat Iran berkali-kali mengkritik lambatnya mekanisme pembayaran Uni Eropa yang baru. Uni Eropa ingin tetap membeli minyak dari Iran meski kini Amerika Serikat memberikan sanksi ekonomi kepada negara tersebut.

Langkah pembuatan bahan bakar itu dapat merusak perjanjian kesepakatan Iran 2015. Presiden AS Donald Trump sudah menarik negaranya dari perjanjian tersebut. Menurutnya, perjanjian itu sangat lemah karena tidak dapat menghentikan Iran dalam mengembangkan rudal balistik atau membantu negara-negara lain.

Trump memberlakukan kembali sanksi ekspor Iran yang sebelumnya sempat dicabut usai kesepakatan nuklir Iran ditandatangani. Tapi, menurut Uni Eropa, kesepakatan itu sangat penting demi keamanan dan keseimbangan dunia.

Uni Eropa dan negara-negara lainnya seperti Cina dan Rusia sudah mencoba untuk tetap bertransaksi dengan Iran. Tapi di sisi lain, mereka juga harus menghormati sanksi yang diberikan AS.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement