Sabtu 19 Jan 2019 02:17 WIB

Forum Ekonomi di Lebanon Dibayangi Perpecahan Arab

Perbedaan negara-negara Arab dalam terkait masa depan Suriah.

Rep: Lintar Satria / Red: Nur Aini
Bendera negara-negara peserta Liga Arab
Bendera negara-negara peserta Liga Arab

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Forum Pertumbuhan Ekonomi dan Sosial negara-negara Arab di Beirut, Lebanon dibayang-bayangi perpecahan. Negara-negara Timur Tengah terpecah dalam perdebatan masa depan Suriah.

Banyak pemimpin-pemimpin negara Arab diprediksi tidak akan menghadiri forum ekonomi tersebut. Ketidakhadiran mereka sebagai upaya untuk menahan pengaruh Iran di kawasan.

Emir Qatar dan Kuwait sudah dipastikan tidak akan menghadiri pertemuan tersebut. Presiden Mesir juga tidak akan hadir dan rencananya ia hanya mengirimkan perdana menterinya. Sementara itu, saat pertemuan tersebut digelar Presiden Palestina juga akan berada di New York.

Kabar ketidakhadiran itu dikirimkan ke Iran termasuk sekutu mereka Hizbullah yang memiliki kekuasaan di Lebanon. Iran juga pendukung pemerintah Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Sekutu Iran melihat pertemuan ekonomi regional ini sebagai kesempatan untuk membawa Assad kembali ke Liga Arab.

Caranya dengan mengajak menteri luar negeri negara-negara Liga Arab bertemu sebelum pertemuan tersebut digelar. Mereka akan meminta dukungan agar Suriah bisa kembali menjadi anggota Liga Arab. Tapi nasib Suriah di masa depan tidak masuk dalam agenda pertemuan tersebut.

"Liga Arab tidak berencana untuk mendiskusikan sebuah undangan ke pertemuan di Tunisia dalam pertemuan di Lebanon yang mana Suriah juga tidak diundang," kata Asisten Sekretaris Jendral Liga Arab Hossam Zaki seperti dilansir dari Aljazirah, Jumat (18/1).

Liga Arab sudah mengeluarkan Suriah sejak 2011. Mereka pun memberlakukan sanksi ekonomi atas kekerasan yang dilakukan pemerintah Suriah terhadap demonstran anti-pemerintah sebelum perang saudara pecah di negara itu. Beberapa negara juga sudah menarik duta besar mereka dari sana.

Pada akhir tahun lalu Presiden Sudan Omar al-Bashir menjadi pemimpin negara Liga Arab pertama yang mengunjungi Suriah sejak negara itu dilanda perang saudara. Beberapa pekan kemudian Uni Emirat Arab dan Bahrain membuka kembali kedutaan besar mereka tapi konsensus di Liga Arab masih berlaku.

Beberapa hari sebelum pertemuan di Beirut digelar negara-negara Arab sudah memperjelas posisi mereka. Irak yang tidak pernah memutuskan hubungan dengan Suriah, mendukung negara kembali masuk Liga Arab. Sementara Qatar yang mendukung oposisi pemerintah Suriah, menekankan alasan Suriah dikeluarkan dari Liga Arab belum diatasi.

Qatar juga mengatakan tidak ada tanda-tanda yang mengharuskan Liga Arab normalisasi hubungan mereka dengan Suriah. Beberapa pekan lalu Arab Saudi sudah membantah akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab dan Bahrain.

"Ada momentum tapi sudah melambat, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan kepada mereka terlalu dini untuk menormalisasi dan berbicara tentang rekonstruksi hubungan sebelum ada kesepakatan dalam elemen-elemen umum dalam penyelesaian politik," kata analis politik Sami Nader.

Assad yang dapat mempertahankan rezimnya dari pemberontakan selama tujuh tahun sedang mencari cara untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Ia ingin melepaskan negaranya dari isolasi dan membutuhkan banyak dana untuk membangun kembali Suriah yang hancur karena perang.

Namun, dorongan diplomasi yang dipimpin Rusia untuk melegitimasi pemerintahan Suriah kini menghadapi tantangan. Pertemuan Liga Arab yang rencana membahas penerimaan kembali Suriah dibatalkan.

Mesir yang sebelumnya mendorong pengakuan kembali Suriah sekarang mengatakan mereka tidak bisa menerima Suriah ke Liga Arab jika Suriah masih belum menyelesaikan krisis politik yang minta PBB.

Ada beberapa peringatan yang menyatakan menerima kembali Suriah terlalu dini maka akan membuat posisi Assad semakin kuat. Hal itu, terutama ketika proses negosiasi penerimaan tersebut mulai dilakukan. Selain itu, AS yang sangat berpengaruh di Timur Tengah ingin mengurangi pengaruh Iran di Timur Tengah.

Menurut mereka memperkuat Assad artinya memperkuat Iran di Suriah. Oposisi Assad ingin dia memenuhi resolusi PBB yang mengharuskannya melepaskan beberapa kekuasaannya.

Belum diketahui apakah pendukung Assad akan melanjutkan upaya mereka sebelum  Liga Arab melakukan pertemuan di Tunisia pada bulan Maret mendatang. Secara terbuka Iran sudah menyambut perubahan kebijakan beberapa negara Arab di Suriah.

"Kembalinya negara-negara Arab ke Suriah adalah perubahan positif yang menjadi sinyal bahwa masyarakat internasional telah mengakui kedaulatan wilayah dan legitimasi pemerintah Suriah," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Iran.

Namun jika Liga Arab menormalisasi hubungan mereka dengan Suriah maka akan menciptakan tatanan kawasan yang baru yang tidak sesuai dengan kepentingan Iran. Sementara bantuan keuangan negara-negara Teluk akan mendorong perekonomian Suriah, para pemimpinnya tentu juga akan berusaha mendapatkan pengaruh di negara itu.

"Kembalinya musuh-musuh Iran di Arab ke Suriah dapat dilihat dalam konteks Iran melemahkan pengaruhnya di Suriah, rezim Suraih yang kembali ke perkumpulan Arab berarti ada beberapa kebijakan yang berdampak pada hubungan mereka dengan Iran dan sekutunya," kata analis di Carnegie Middle East Center, Mohanad Hage Ali.

Iran sudah menjadi sekutu pemerintah Suriah selama perang saudara dan tidak ada indikasi Assad akan menghancurkan persekutuan itu. Perpecahan diplomatik yang dilakukan negara-negara Arab dalam pertemuan di Beirut hanya langkah awal untuk menahan pengaruh Iran di kawasan. 

Diprediksi mereka akan mengambil momentum dalam pertemuan anti-Iran di Warsawa, Polandia 13 dan 14 Febuari mendatang. Dalam pertemuan tersebut Undersecretary for Political Affairs Kementerian Luar Negeri AS David Hale juga tidak mengundang Lebanon karena mereka akan membahas isu sensitif tentang pengaruh Iran di kawasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement