Selasa 19 Feb 2019 14:42 WIB

Hoda Menyesal Gabung ISIS, Ia Ingin Pulang ke Amerika

Hoda Muthana mengaku telah salah paham tentang ajaran keimanan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Hoda Muthana
Foto:
Gerakan ISIS (ilustrasi)

Rahman kemudian terbunuh di Kota Kobani sehingga memicu amarah Hoda. Dia pun menuliskan di Twitter untuk menumpahkan darah orang Amerika sebab menyebabkan kematian suaminya. "Orang Amerika bangun! Pria dan wanita bangun!. Banyak yang harus Anda lakukan saat Anda hidup di bawah musuh terbesar kami, sudah cukup tidur kalian!! Pergilah berkendara, dan tumpahkan semua darah mereka, kendalikan mereka. Veteran, Patriot, Memorial, dll.… Bunuh mereka," cicit Hoda kala itu.

Selama berbulan-bulan pada 2015, cicitan di Twitter-nya penuh dengan hasutan mengerikan, dan dia menegaskan akan tetap bersemangat sampai tahun-tahun berikutnya. Namun, dia mengaku akun Twiter-nya diambil alih oleh orang lain.

Setelah kematian suaminya, dia menikahi suami keduanya, seseorang asal Tunisia yang dirahasiakan identitasnya. Dari pernikahan-nya mereka dikaruniai putra bernama Adam.

Suami keduanya kemudian terbunuh di Mosul. Sehingga Hoda mundur bersama belasan wanita lainnya ke tanah ISIS yang semakin menyusut, tempat dia menikahi suami ketiganya, seorang asal Suriah tahun lalu.

Hoda mengakui keluarganya di Alabama sangat konservatif dan membatasi pergerakan dan interaksinya. Hal itu yang menurutnya menjadi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap radikalisasi dirinya.

"Kamu ingin keluar dengan teman-temanmu dan aku tidak mendapatkan itu semua. Saya beralih ke agama dan masuk terlalu keras. Saya belajar apapun yang saya anggap benar," kata Hoda.

"Saya melihat ke masa lalu sekarang dan saya pikir saya sangat sombong. Sekarang saya khawatir tentang masa depan anak saya," ujarnya.

Menururnya, pada akhirnya ia tidak memiliki banyak teman yang tersisa, sebab semakin dia berbicara tentang penindasan ISIS,  ia kian kehilangan teman. "Saya dicuci otak sekali saja dan teman-teman saya masih dicuci otak," katanya.

Enam pekan lalu, Hoda melarikan diri dari desa Susa, tidak jauh dari garis depan saat ini di Baghouz. Hoda mengatakan, sempat tidur di padang pasir selama dua malam dengan sekelompok orang buangan ISIS.

Kemudian akhirnya dia ditangkap oleh pasukan Kurdi yang memindahkannya ke al-Hawl, tempat dia sekarang bermukim dengan istri dan janda pejuang ISIS dari seluruh dunia.

Para wanita tidak bisa meninggalkan kamp dan dikawal oleh penjaga bersenjata. Meski mereka memiliki akses ke makanan dan bantuan. Di al-Hawl, dendam dari selama empat tahun terakhir telah muncul.

Aliansi dan permusuhan baru telah terbentuk; perempuan-perempuan asing di kamp itu seperti geng dalam tiga kategori: Rusia, Tunisia, dan Barat lainnya. "Mereka [Rusia dan Tunisia] membuat hidup kita neraka," kata seorang tahanan Swedia, Lisa Andersson.

"Jika Anda pergi ke luar tenda tanpa burqa Anda, atau mengatakan sesuatu kepada manajemen, mereka memukuli Anda atau anak-anak Anda. Mereka mengancam akan membakar tendamu," ujar Lisa.

Anak perempuan Lisa yang berumur satu tahun meninggal di kamp sebulan lalu. Lisa menyalahkan kematiannya pada perawatan kesehatan di bawah standar.

Hoda kini menggambarkan pengalamannya dengan ISIS sebagai pengalaman hidup yang sangat mengejutkan. "Hidup saya seperti film. Anda membaca satu buku dan berpikir Anda tahu segalanya. Saya benar-benar trauma dengan pengalaman saya. Kami kelaparan dan benar-benar kami terpaksa makan rumput," kata Hoda.

Presiden AS Donald Trump pada Ahad  mendesak negara-negara barat untuk memulangkan para pejuang ISIS yang ditangkap. "Amerika Serikat meminta Inggris, Prancis, Jerman, dan sekutu Eropa lainnya untuk mengambil kembali lebih dari 800 pejuang ISIS yang kami tangkap di Suriah dan mengadili mereka," kata presiden AS.

Hoda mengatakan, dia tidak melakukan kontak dengan para pejabat AS sejak penangkapannya. Ia meminta pemerintah AS memaafkannnya karena telah bertindak bodoh. "Saya akan memberi tahu mereka tolong maafkan saya karena begitu bodoh, dan saya benar-benar muda dan bodoh. Waktu itu saya berusia 19 tahun ketika saya memutuskan untuk pergi. Saya percaya bahwa Amerika memberi peluang kedua," ujar Hoda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement