Rabu 06 Mar 2019 12:07 WIB

RS Indonesia di Hebron Diharap Satukan Hamas dan Fatah

Usaha mengharmoniskan Hamas dan Fatah belum membuahkan hasil.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nur Aini
Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, Palestina
Foto: Mer-C
Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Panitia Pembangunan Rumah Sakit Indonesia-Hebron (RSIH) Tepi Barat Palestina, Muhyiddin Junaidi, berharap pembangunan rumah sakit tersebut bisa membuat Fatah dan Hamas bersatu. Meski dia mengakui, dua organisasi itu memang sulit dicarikan titik temu.

"Sisi politis pembangunan rumah sakit ini, kami harap dengan adanya rumah sakit ini Hamas dan Fatah bisa saling berjabatan tangan, bisa bersatu. Kita hanya bisa berharap saja ya, tidak bisa memaksa karena Hamas dan Fatah punya garis politik yang berbeda," kata dia kepada Republika.co.id kemarin.

Baca Juga

Hamas dan Fatah berselisih sejak Hamas merebut Gaza pada 2007 dari Fatah setelah melewati pertempuran jalanan. Beberapa bulan lalu, delegasi dari dua kelompok itu mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Mesir di Kairo untuk mengakhiri pembagian antar-Palestina.

Puluhan kali kedua kelompok itu menggelar pembicaraan di Kairo dan beberapa ibu kota Arab sejak awal keretakan pada 2007 silam. Usaha mengharmoniskan Hamas dan Fatah hingga kini belum membuahkan hasil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama lembaga sosial dan ormas Islam akan membangun RSIH di Tepi Barat, Palestina. Lembaga sosial dan ormas tersebut, antara lain Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Baznas, Dompet Dhuafa, dan Yayasan Al-Azhar.

Muhyiddin mengatakan, lembaga-lembaga ini sudah melakukan pertemuan internal beberapa kali, dan sepakat membangun rumah sakit itu. Dana yang dibutuhkan untuk membangun RSIH Tepi Barat sebesar 6,83 juta dolar AS. Wali Kota Hebron Tayseer Abu Sneineh sepakat menanggung 830 ribu dolar AS.

Sedangkan sisanya akan dikumpulkan oleh pihak Indonesia. Saat ini, dana awal yang sudah terkumpul untuk pembangunan rumah sakit tersebut baru senilai Rp 3,5 miliar. Sementara, total dana yang diperlukan yakni 6 juta dolar AS atau sekitar Rp 84 miliar.

"Kita belum melakukan fund raising, nanti setelah Pemilu (baru dimulai). Tetapi sudah ada starting capital sekitar Rp 3,5 miliar. Itu dari masyarakat," kata ketua bidang hubungan luar negeri MUI ini.

Muhyiddin memaparkan, dana pembangunan rumah sakit murni dari sumbangan masyarakat Indonesia dan bukan dari negara. Pemerintah tidak menanggung pembiayaan rumah sakit tersebut. "Kita nggak mau, nanti pertanggungjawabannya lebih kompleks dan rumit," tutur dia.

Pihak Indonesia, kata Muhyiddin, bakal ke lokasi pembangunan rumah sakit pada 19 April mendatang. Untuk masuk ke wilayah Hebron Tepi Barat itu tidak mudah dan butuh langkah-langkah diplomasi. Kementerian Luar Negeri RI pun akan turut membantu melakukan diplomasi dan mendampingi kunjungan.

Peletakan batu pertama proyek pembangunan rumah sakit rencananya akan dilakukan pada 20 April. Muhyiddin optimistis RSIH itu bisa rampung sesuai kontrak. Berdasarkan kontrak, pengerjaan proyek berlangsung selama dua tahun dan akan rampung 2021 atau pada akhir 2020.

Muhyiddin menambahkan, Kemenlu RI juga akan membantu memantau pembangunan rumah sakit melalui Kedutaan Besar Indonesia di Amman, Yordania. Koordinasi dengan pihak kedubes di Amman akan terus berjalan demi kelancaran pembangunan.

"Merekalah yang menjadi jembatan bagi kami untuk melakukan proses pembangunan ini. Jadi yang melakukan supervisi, yang meninjau pemantauan progres itu dari KBRI di sana. Orang diplomat kita," ujarnya.

Bangunan RSIH di Tepi Barat ini akan terdiri dari 4 lantai dan dibangun di atas lahan seluas 4.000 meter persegi. Setelah pembangunan RSIH selesai, pengelolaan akan diserahkan kepada wali kota Hebron. Hanya saja, jika pihak Hebron butuh Sumber Daya Manusia, maka Indonesia siap memberi pelatihan untuk belajar mengelola rumah sakit.

Apalagi, RSIH bukan rumah sakit umum, melainkan khusus untuk menangani orang-orang yang terkena trauma akibat tindak kekerasan, penyiksaan, pengusiran, pembantaian, dan pembunuhan serta lainnya. "Jadi untuk traumatic healing hospital. Anak-anak tentu butuh penanganan psikiater, dan ini dibutuhkan keahlian khusus," ucap dia.

Menurut Muhyiddin, tantangan membangun rumah sakit ini yaitu soal transfer dana. Dia khawatir dana yang ditransfer pihak Indonesia nanti dibekukan oleh Israel karena negara di bawah Israel sangat ketat dalam persoalan pengiriman dana.

"Jadi kita akan kirim ke rekening bank milik wali kota Hebron dan dia lah yang akan menggunakan dana tersebut sesuai kontrak antara wali kota Hebron dan kontraktor yaang sudah melakukan open bidding," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement