Rabu 20 Mar 2019 05:30 WIB

Palestina di Mata Perdana Menteri Perempuan Pertama Israel

Secara khusus dirinya merendahkan dan mengorbankan Palestina.

Rep: Puti Almas/ Red: Nashih Nashrullah
Perdana menteri perempuan pertama Israel Golda Meir
Foto: Aljazeera
Perdana menteri perempuan pertama Israel Golda Meir

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Satu-satunya mantan perdana menteri perempuan Israel, Golda Meir mengungkapkan kinerja dirinya selama menjabat. 

Ia mengaku dapat mengamankan pekerjaan utama yang harus dilakukan negara itu. 

Baca Juga

Meir, yang baru saja dikonfirmasi oleh Knesset sebagai perdana menteri Israel 50 tahun yang lalu terkenal dengan ucapannya yang lebih xenofobik.

Secara khusus dirinya merendahkan dan mengorbankan Palestina. Ia menganggap bahwa tidak pernah ada yang disebut sebagai warga Palestina. 

“Kapan ada warga Palestina yang merdeka dengan negara Palestina? Tidak seperti yang terlihat selama ini bahwa warga Palestina menganggap mereka sebagai warga Palestina dan kami datang mengusir dan mengambil negara mereka. Mereka tidakl pernah ada,” ujar Meir, seperti yang dikutip di Sunday Times dan Washington Post pada Juni 1969. 

Bagi penentang Meir, ucapan tersebut menjadi salah satu peninggalannya yang paling dibenci. 

Penulis buku ‘Golda Meir’, Elinor Burkett mengatakan sosok perempuan tersebut bukanlah seorang pemikir yang baik. 

Banyak pengamat menilai Meir tidak mampu merenungkan pendirian Israel telah membuat warga Palestina memiliki narasi peristiwa yang berbeda, selain dari kenyataan mereka kehilangan tempat tinggal akibat penjajahan yang dilakukan Israel. 

Meir memiliki tujuan nyata untuk membersihkan etnis Palestina di tanah asli mereka. 

“Meir berniat untuk membersihkan etnis populasi asli Palestina, untuk memberi ruang bagi imigran Yahudi,” ujar Burkett. 

Burkett mengatakan Meir tak memiliki masalah untuk memindahkan orang secara paksa dari rumah mereka. 

Termasuk mengusir warga Palestina seluruhnya dari tanah mereka, agar keberadaan Israel terjamin. 

Selama lima tahun menduduki jabatannya, Meir dikenal dengan komentar-komentar yang singkat, namun agresif. 

Meski demikian, ia tak luput dari sorotan saat 11 anggota tim olimpiade Israel terbunuh pada 1972 dan terjadinya perang pada Oktober 1973. 

Burkett mengatakan imigran Yahudi yang pergi ke Amerika Serikat (AS) dan perempuan Israel yang berada di negaranya bukanlah feminis. Namun, kelompok feminis Amerika banyak yang menyukai Meir dan menjadikan dirinya sebagai panutan. 

“Tetapi Meir tidak tertarik, bukan karena meragukan prestasi perempuan, tapi dia mengabaikan prasangka gender,” kata Burkett sebagaimana dikutip dari Aljazeera

photo
Seorang warga Palestina membawa ketapel pada peringatan 70 tahun hari Nakba (hari di mana warga Palestina diusir secara besar-besaran oleh Israel) di Ramallah, Tepi Barat Palestina, Selasa (15/5)

Meir dinilai tak pernah menganggap jabatan yang diraihnya sebagai perdana menteri adalah sebuah prestasi. Namun, itu adalah pencapaian untuknya. 

Meir lahir di Ukraina pada 1898 dan bermigrasi ke AS bersama keluarganya. Ia menyelesaikan pendidikan sebagai seorang guru, hingga menikah pada 1921 dan pindah ke Palestina yang kemudian berada dalam kekuasaan Inggris. 

Meir kemudian menjadi sosialis Zionis, yang membuatnya mencapai jabatan sebagai menteri tenaga kerja dan menteri luar negeri. Jabatan ini membuat Israel populer di PBB. 

Kemudian, aliansi dengan AS yang membuatnya terkenal dan dianggap sebagai prestasi utama seorang menteri luar negeri Israel. Sebelumnya, hubungan sekutu antara AS dan Israel tidak begitu jelas. 

"Orang-orang lupa bahwa aliansi antara AS dan Israel tidak begitu jelas sebelum Meir menjadi menteri luar negeri, namun ia membuat itu terjadi." jelas Burkett. 

Kesuksesan yang dirasakannya sebagai politisi dan perannya pada 1948 untuk mengumpulkan jutaan dolar dari AS, sehingga membantu evolusi Israel memberi pengaruh besar untuk karirnya. 

Termasuk bagi Israel, yang bangkit dan membuat hak-hak warga Palestina semakin diabaikan. 

Meski demikian, pemerintahan Meir kemudian dikritk keras karena kurangnya kesiapsiagaan Israel dalam perang yang terjadi Oktober 1973.

Saat itu, pasukan Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak saat Yom Kippur, hari paling suci dalam kalender Israel. Meski berhasil membalikkan keadaan, namun militer Israel harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. 

Meir meninggal dunia pada 1978, di usianya yang ke-80. Tidak semua warga Israel menyukai dirinya, meski sebagian besar mengingat jasanya terhadap negara tersebut. 

Tetapi, Meir tentu tidak dikenang dengan baik oleh warga Palestina yang selama ini tak dipedulikan hak-haknya. Bahkan, bagi warga Israel sendiri melihat bagaimana sosok Meir yang tak kenal kompromi.

"Pada akhirnya, sikapnya terhadap Palestina pada dasarnya adalah sikap macho, chauvinis, penyangkalan, yang secara intrinsik melekat dalam Zionisme," ujar Ofir. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement