Kamis 21 Mar 2019 12:58 WIB

Kuwait Ingatkan AS Soal Rencana Perdamaian TImteng

AS berupaya mengakhiri konflik TImteng termasuk Israel-Palestina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Sabah Khaled Al-Hamad
Foto: Reuters
Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Sabah Khaled Al-Hamad

REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT CITY – Menteri Luar Negeri Kuwait, Sheikh Sabah Khaled al-Sabah, mengatakan rencana perdamaian Amerika Serikat (AS) untuk Timur Tengah harus bisa diterima semua pihak yang berkepentingan di kawasan sebab hal tersebut tentu akan mempengaruhi situasi di sana.

“Kami berharap rencana itu akan mempertimbangkan situasi di kawasan ini dan semua pihak terkait,” kata Sheikh al-Sabah dalam sebuah konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Kuwait pada Rabu (20/3).

Baca Juga

“Kami percaya hubungan yang kuat antara AS dan beberapa negara akan menghasilkan resolusi yang dapat diterima semua pihak serta mencapai solusi politik yang telah lama dinanti,” kata dia. 

Rencana perdamaian Timur Tengah AS kerap dikenal dengan istilah “Deal of the Century”. Dalam kerangka perdamaian tersebut, AS akan berupaya mengakhiri konflik di Timur Tengah, termasuk antara Israel dan Palestina.

Negara-negara di Timur Tengah cukup menanti rencana perdamaian AS tersebut. Namun Palestina menyangsikannya. 

Palestina meyakini Deal of the Century tidak lagi mencantumkan isu-isu vital, seperti status Yerusalem dan nasib jutaan pengungsi Palestina.

Selain perihal Deal of the Century, dalam pertemuannya, Sheikh al-Sabah dan Pompeo juga membahas tentang krisis Teluk, yakni persilisihan antara Qatar dengan Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Menurut Pompeo AS dan Kuwait berupaya memediasi negara-negara itu untuk segera mengakhiri pertikaiannya.

“Itu bukan demi kepentingan terbaik kawasan, bukan demi kepentingan terbaik dunia. Kami membutuhkan negara-negara Teluk yang semuanya bekerja bersama dalam serangkaian tantangan kompleks yang dihadapi masing-masing,” kata Pompeo.

Krisis Teluk terjadi pada Juni 2017, yakni ketika Saudi dan sekutunya menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme serta ekstremisme di kawasan.

Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Doha. Mereka juga memboikot negara tersebut.

Keempat negara mengajukan beberapa tuntutan jika Qatar ingin memulihkan hubungannya. 

Tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah. Qatar menolak tuntutan tersebut karena dianggap tak masuk akal. 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement