Jumat 29 Mar 2019 13:27 WIB

Bagaimana Mereka Harus Kembali?

Saat ini sudah ada sekitar 1,3 juta pengungsi Suriah di Yordania.

Pengungsi Suriah di kamp pengungsi yang terletak di Provinsi Idlib, utara Suriah.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Pengungsi Suriah di kamp pengungsi yang terletak di Provinsi Idlib, utara Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID,

Laporan langsung Ilham Tirta,

Wartawan Republika.co.id, dari Yordania.

Isra Mustafa Syekh berhasil membebaskan diri dari kerumunan orang setelah mendapatkan paket bantuan di Aula Hasemite, Provinsi Ajloun, Yordania, Rabu (27/3). Siang itu, Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yordania mengumpulkan Isra dan ratusan pengungsi Suriah lainnya untuk mendapat sembako dan perlengkapan musim dingin.

Namun, langkah wanita sekira 30 tahun itu terhenti oleh hujan yang mengguyur sebagian wilayah Ajloun. Musim dingin tahun ini memang lebih panjang. Bulan Maret yang biasanya hangat kini lebih sering hujan disertai udara lembab yang membekukan sendi di 6 derajat celsius.

Isra adalah salah satu warga Allepo, Suriah yang melarikan diri dari perang saudara yang tak berkesudahan dan ancaman kelompok Islamic State of Iraq and Sirya (ISIS). Bersama suaminya, ia terpaksa berlari membelakangi kota tercinta yang sedang dihujani peluru dan bom pada 2014 lalu.

''Di sana sedang perang, hancur, dan kami lari ke sini," kata Isra kepada wartawan Republika.co.id, Ilham Tirta, saat berteduh di pelataran gedung pembagian bantuan.

Seketika ia termenung saat ditanya apakah sudah punya rencana untuk kembali ke Allepo. Wanita itu tidak memiliki jawaban, dia malah bimbang, dan merasa dirinyalah yang harus bertanya.

''Bagaimana (kami) pulang? rumah hancur,'' katanya lirih. ''Tapi masih ada keluarga yang tinggal di sana.''

Isra mengaku terus memantau keadaan di Allepo, lebih umum lagi isu politik pemerintahan Suriah dan internasional. Belum ada tanda-tanda kekacauan akan berakhir. Di Allepo saat ini, kata dia, harga kebutuhan dasar mahal, listrik tidak ada, dan sebagian besar bangunan hancur.

''Keluarga kami, mereka menederita, tapi tidak bisa keluar dari Allepo.''

Korban Perang

Apa yang dirasakan Isra seperti diamini oleh Muna Abdurrahim Utsman (50 tahun). Sama-sama masuk Yordania pada 2014, namun Muna datang dari daerah yang berbeda, yaitu Daraa.

Daerah asal Muna berada di pinggiran Suriah dan paling dekat dengan Yordania. Meski begitu, wilayahnya juga merupakan daerah sasaran perang yang mematikan.

''Ada bom dari pesawat, dan serangan udara itu secara bertubi-tubi,'' katanya.

Tidak tahan dengan kondisi itu, Muna dan suaminya, Abdurrahim Ustman membawa 10 anaknya ke Yordania. Mereka khawatir kesepuluh anaknya menjadi korban salah sasaran. "Di sana hancur sama sekali," katanya.

Namun, nahas bagi keluarga itu, suami Muna mengalami cidera sehingga tidak bisa lagi mencari nafkah di negeri orang. Untuk kebutuhan keluarga, Muna harus bekerja di kebun. "Atau jika ada bantuan seperti ini," katanya. Muna dan pengungsi lainnya hanya bisa bekerja serabutan karena tidak memiliki legalitas kependudukan.

Meski anak-anak tampak asyik bermain dengan riangnya, tidak ada cerita bahagia dalam pengungsian. Kisah mereka seperti penderiataan yang terus berlipat, semakin digali semakin dalam dan berat.

Perjuangan Fadiah

Menghuni rumah sewaan di pinggiran Ajloun, Fadiah tidak tahu bagaimana nasibnya ke depan. Di bawah tanggunggungannya, ayah dan ibu yang berusia lanjut; kedua anaknya, Zudi (8) dan Aman (5); dan adiknya, Ahmad yang menderita hedrosefalus sehingga hanya bisa terbaring di atas kasur.

Fadiah ditinggal kerja oleh suamianya ke Libia dan tak pernah ada kabarnya lagi. Saat perang di Suriah berkecamuk empat tahun yang lalu, Fadiah dan keluarga akhinya berjalan meninggalkan Suriah. "Saya datang langsung dari Deraa," kata wanita yang mengenakan cadar hitam.

Staf KBRI Yordania, Gaida mengatakan, ini adalah salah satu keluarga pengungsi yang memiliki situasi sulit. Sebab, Fadiah sendiri tidak memiliki keahlian dalam bidang pekerjaan.

''Dia tidak bisa bekerja, dia juga harus mengurus anak-anaknya. Karena itu, mereka tidak memiliki banyak uang, hanya untuk makan sehari hari,'' katanya.

Menurut dia, adat di Deraa tidak membolehkan seorang gadis bekerja mencari nafkah. Karena itu, banyak pengungsi dari Deraa tidak memiliki keahalian selain mengurus rumah. ''Mereka hanya masak, menikah, dan mengurus anak,'' katanya.

Mengurus Pengungsi

Ketua DWP KBRI Yordania, Ismi Rachmianto mengatakan, bantuan kali ini memang dikhususkan untuk pengungsi di luar kamp pengungsian. Mereka tinggal menyebar dan menyewa rumah warga lokal. Karena itu, kasus seperti Ahmad yang menderita hedrosefalus baru diketahaui.

''Nah, bisa ke depan kita bantu. Jadi setiap kunjungan ada sesuatu yang kita dapatkan,'' katanya.

Berbeda dengan pengungsi lainnya, bantuan untuk keluarga Fadiah diberikan langsung oleh Duta Besar RI untuk Yordania, Andy Rachmianto di rumahnya. Andy mengatakan, selain dari ibu-ibu Darma Wanita KBRI, penyerahan bantuan itu juga diinisiasi oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia (HPMI) di Yordania.

''Saya (juga) mengimbau dan mengajak saudara-saudara kita di tanah air yang ingin memberikan bantuan kemanusiaan, khususnya kepada pengungsi Palestina dan Suriah di Yordania, dan Insya Allah kami akan membantu proses penyalurannya,'' kata Andy.

Total bantuan yang diserahkan pada pengungsi kali ini sekitar 150 paket sembako dan 150 paket pakaian. Menurut Wakil Ketua HPMI Yordania, Muhammad Ihtisam, paket itu berupa pakain musim dingin seperti sepatu dan jaket. ''Itu kami kumpulkan dari mahasiswa Asean di sini dan ada juga dari warga sekitar,'' katanya. 

Pengungsi Palestina

Dubes Andy mengatakan, saat ini sudah ada sekitar 1,3 juta pengungsi Suriah di Yordania. Sebanyak 140 ribu di antaranya masih tinggal di lima kamp pengungsian.

Meski begitu, semua pengungsi Suriah itu tidak memiliki identitas resmi sehingga sulit mendapatkan pekerjaan. Saat ini, mereka hidup dari alokasi dana khusus dari pemerintah Yordania. Menurut Ismi Rachmianto, pengungsi itu mendapat sekitar 125 dinar (JD) setiap bulan.

''Sebanyak 25 persen APBN Yordania dipakai untuk pengungsi,'' katanya.

Sementara, pengungsi Palestina ada sekitar 2,3 juta jiwa. Bedanya, pengungsi Palestina sudah lama berada di Yordania, sejak gelombang pertama pada 1948 dan kedua pada 1967. ''Jadi sudah lama sekali,'' kata Andy.

Andy menjelaskan, dilihat dari penduduk Yordania yang disebut 10 juta jiwa, bisa dibilang 60-70 persennya itu keturunan Palestina yang sudah menjadi warga negara Yordania. Umumnya, kata dia, pengungsi Palestina sudah terasimilasi karena lama tinggal dan sejarah Yordania dan Palestina yang dulunya satu.

Selain itu, pengungsi Palestina juga sudah tidak tinggal di kamp pengungsian. "Jadi mereka umumnya, keadaanya sudah lebih baik karena sudah bisa bekerja. Tidak seperti pengungsi Suriah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement