Sabtu 06 Apr 2019 14:02 WIB

AS Berencana Sebut Garda Revolusi Iran Kelompok Teroris

AS telah membuat daftar hitam puluhan entitas yang terafiliasi dengan Garda Revolusi.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Pasukan Garda Revolusi Iran
Foto: AP
Pasukan Garda Revolusi Iran

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) akan menyebut militer Iran, Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) sebagai kelompok teroris. Tiga pejabat AS mengatakan kepada Reuters, pengumuman resmi oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) AS akan diumumkan Senin (8/4). Hal ini telah dikabarkan selama bertahun-tahun lalu.

AS sebelumnya telah membuat daftar hitam puluhan entitas dan individu yang terafiliasi dengan IRGC, meski tidak mencatat organisasi secara keseluruhan. Pada 2007, Departemen Keuangan AS menetapkan Pasukan Quds dari IRGC yang bertanggung jawab atas operasi di luar negeri mendukung terorisme. AS mendeskripsikan militer Iran tersebut sebagai lengan utama Iran melaksanakan kebijakan mendukung kelompok teroris dan pemberontak.

Baca Juga

Iran pun sebelumnya telah memperingatkan penggolongan tersebut akan menghancurkan. Komandan IRGC Mohammad Ali Jafari pada 2017 memperingatkan, jika Trump melanjutkan langkah tersebut, Garda Revolusi akan menganggap tentara Amerika menjadi seperti ISIS di seluruh dunia.

Senator dari Partai Republik Ben Sasse mengatakan, langkah tersebut akan menjadi langkah penting dalam kampanye tekanan maksimum Amerika melawan Teheran. "Penunjukan formal dan konsekuensinya mungkin baru, namun 'tukang begal' seperti IRGC ini telah menjadi teroris sejak lama," kata Sasse dalam sebuah pernyataan.

Mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS dan pemimpin negosiator Iran, Wendy Sherman, mengatakan, khawatir tentang implikasi bagi pasukan AS jika langkah ini terlaksana. Menurutnya, dunia akan bingung jika presiden tidak mencari dasar untuk konflik.

"IRGC sudah sepenuhnya disetujui dan peningkatan semacam ini benar-benar membahayakan pasukan kita di wilayah ini," kata Sherman, yang juga menjabat sebagau Direktur Pusat Kepemimpinan Publik di Harvard Kennedy School.

Keputusan pemerintah AS menyebut militer Iran sebagai kelompok teroris pertama kali dilaporkan oleh Wall Street Journal. Para kritikus menilai, langkah AS akan dapat membuat militer dan intelejen AS mendapat perlakuan serupa oleh pemerintah luar negara yang tidak ramah kepada AS.

Kendati demikian, Pentagon menolak berkomentar dan merujuk pernyataan ini ke Deplu. Deplu AS dan Gedung Putih sayangnya juga melakukan hal sama, menolak berkomentar. Sementara, misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tidak menanggapi permintaan komentar.

Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo telah mengadvokasi perubahan kebijakan AS sebagai bagian dari sikap keras pemerintahan Trump terhadap Teheran. Pengumuman ini pun akan datang menjelang satu tahun pertama dari keputusan Presiden AS Donald Trump dalam menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dengan Teheran sehingga AS untuk menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran.

Didirikan setelah Revolusi Islam 1979 untuk melindungi sistem pemerintahan ulama Syiah, IRGC adalah organisasi keamanan paling kuat di Iran. IRGC memiliki kendali atas sektor-sektor besar ekonomi Iran serta memiliki pengaruh besar dalam sistem politiknya.

IRGC bertanggung jawab atas rudal balistik dan program nuklir Iran. Teheran telah lama memperingatkan negaranya memiliki rudal dengan jangkauan hingga 2.000 Km. Jarak tersebut menempatkan pangkalan militer Israel dan AS di wilayah tersebut dalam jangkauan.

IRGC diperkirakan memiliki militer berkekuatan dengan jumlah 125 ribu unit tentara, angkatan laut dan udara. Pasukan elite ini memiliki tanggung jawab kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

Masih belum jelas dampak dari penunjukan AS terhadap IRGC sebagai organisasi teroris terhadap aktivitas Amerika di negara-negara yang memiliki hubungan dengan Teheran, termasuk di Irak. Irak juga memiliki hubungan budaya dan ekonomi yang mendalam dengan Iran dan Oman, di mana AS baru-baru ini membuat kesepakatan pelabuhan strategis.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement