Sabtu 18 May 2019 16:48 WIB

Irak Terjebak di Tengah Kemelut Ketegangan AS dan Iran

Iran berada di tengah kepentingan AS dan Iran di kawasan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nashih Nashrullah
Bendera Irak (ilustrasi)
Foto: AP
Bendera Irak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo bertemu dengan para pejabat Irak di Baghdad pekan lalu, di tengah ketegangan antara AS dan Iran.

Sementara beberapa waktu lalu pemimpin pasukan Quds Iran, Qassem Suleimani dilaporkan telah melakukan pertemuan dengan milisi Irak untuk mempersiapkan diri menghadapi perang proksi. 

Baca Juga

Dua pejabat pemerintah Irak menyampaikan kepada The Associated Press bahwa mereka memiliki posisi yang sulit. Pemerintahannya bersekutu dengan AS dan juga Iran. 

Ketika ketegangan antara AS dan Iran meningkat, ada kekhawatiran bahwa Bahgdad dapat terperangkap di tengah. Irak menampung lebih dari lima ribu tentara AS dan merupakan rumah bagi milisi kuat yang didukung Iran.  

"Pertanyaan besar adalah bagaimana para pemimpin Irak akan menangani kepentingan nasional (mereka) di negara di mana kesetiaan kepada kekuatan eksternal tersebar luas dengan mengorbankan bangsanya sendiri," kata analis politik Irak, Watheq al-Hashimi, Sabtu (18/5). 

"Jika negara tidak dapat menempatkan ini (milisi yang didukung Iran) di bawah kendali, Irak akan menjadi arena bagi konflik bersenjata Iran-Amerika," ujar Hashimi menambahkan. 

Bagi Irak, menjadi medan perang bagi perang proksi bukanlah hal baru. Negara mayoritas Syiah itu berada di garis patahan antara Iran Syiah dan sebagian besar dunia Arab Sunni, yang dipimpin Arab Saudi. Irak telah lama menjadi medan perang, di mana persaingan Saudi-Iran untuk supremasi regional dimainkan.

Selama delapan tahun kehadiran militer Amerika yang dimulai dengan invasi Irak pada 2003, pasukan AS dan milisi yang didukung Iran bertempur di sekitar negara itu. Sejumlah tentara AS terbunuh atau terluka oleh pasukan milisi yang dipersenjatai dengan senjata canggih buatan Iran.   

Pasukan AS menarik diri dari Irak pada 2011, tetapi kembali pada 2014 atas undangan Irak untuk membantu memerangi kelompok ISIS setelah merebut wilayah  di utara dan barat negara itu, termasuk kota terbesar kedua Irak, Mosul. 

Koalisi yang dipimpin AS memberikan dukungan udara yang penting ketika pasukan Irak bergabung untuk mengusir ISIS. Milisi yang didukung Iran bertempur bersama pasukan Irak yang didukung AS melawan ISIS. 

Sekarang, di tengah konflik yang meningkat antara AS dan Iran, Irak rentan terperangkap dalam permainan kekuasaan. Serangan yang menargetkan kepentingan AS di Irak akan merusak upaya negara untuk memulihkan dan mengklaim kembali statusnya di dunia Arab.

Awal tahun ini, Presiden AS Donald Trump mengatakan, dia ingin pasukan AS tetap berada di Irak sehingga dapat mengawasi Iran. Sementara, pada 8 Mei Pompeo melakukan perjalanan kilat ke Baghdad dan menyampaikan informasi intelijen bahwa Iran telah mengancam kepentingan AS di Timur Tengah. 

Pejabat pemerintah Irak yang enggan disebutkan namanya menyatakan, Pompeo mengatakan, Irak tidak harus selalu berpihak kepada AS dalam setiap konfrontasi dengan Iran. Namun, Irak juga tidak boleh melawan AS. Dengan kata lain, Irak tidak boleh ikut campur dalam ketegangan Iran dan AS. 

Para pejabat AS menyatakan, Pompeo mengatakan kepada Irak bahwa AS memiliki hak untuk membela diri jika personel, fasilitas, atau kepentingan AS diserang oleh Iran atau proksinya di Irak.

Pompeo tidak merencanakan serangan pre-emptive terhadap Iran, atau menggunakan wilayah Irak untuk melakukan operasi militer terhadap Iran. Pompeo menegaskan bahwa AS ingin menghindari konflik, namun akan tetap melakukan pembelaan jika diperlukan. 

 

 

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement