REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Muhammad Akbar Wijaya dari Kairo, Mesir
Bagi orang Indonesia yang lama hidup di Mesir, Tahrir Square (lapangan Tahrir) ibarat Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Tempat ini adalah jantung kota bermukimnya tempat-tempat strategis.
Di sekitarnya terdapat Universitas Amerika, gedung Parlemen Mesir (DPR/MPR Mesir), gedung Kementerian Dalam Negeri Mesir, Sekretariat Liga Arab, dan Museum Nasional Mesir.
“Berdemo di Tahrir akan memiliki efek politis yang lebih besar dibanding tempat lain,” kata Amir Syarifudin staf KBRI di Kairo.
Amir hidup di Mesir sejak tahun 1980. Selama kurun waktu itu dia banyak mendengar peran Tahrir sebagai ruang pergulatan sosial politik masyarakat Mesir.
Lapangan Tahrir semula bernama Midan Ismaila. Nama itu kemudian dirubah menjadi Tahrir pada 1952 oleh perwira revolusioner Arab Mesir, Letnan Kolonel Gamal Abdul Naseer.
Gamal adalah salah satu tokoh kebangkitan rakyat Asia Afrika. Bersama Soekarno, Gamal turut menukangi lahirnya Konfrensi Asia Afrika dan gerakan nonblok di Bandung pada 1955.
Tahrir berasal dari bahasa Arab harrara, yuharirru, tahriran, yang bermakna kebebasan. Secara harfiah lapangan Tahrir dapat diartikan sebagai lapangan kebebasan.
Peran Tahrir sebagai episentrum perubahan sosial politik Mesir sudah tercatat sejak 1881. Kala itu masyarakat Mesir menggunakannya sebagai tempat demonstrasi besar-besaran menolak kekuasaan Muhammad Taufik Pasha yang otoriter.
Hal serupa juga dilakukan rakyat Mesir ketika Presiden Anwar Sadat mengakhiri subsidi bahan makanan pokok rakyat Mesir (roti dan minyak goreng), pada 1977.
Tahrir kembali membuktikan eksistensinya sebagai tanah kebebasan ketika kebosanan terhadap rezim Hosni Mubarak meluap di 2011. Ketika itu saban usai shalat Jum’at ribuan rakyat Mesir berkumpul di Tahrir menuntut Mubarak mundur dari kursi kepresidenan. Tak kurang lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas saat menyampaikan aspirasinya di Tahrir.
Nuansa politis Tahrir langsung dirasakan saat saya mengikuti perjalanan kerja Komisi I DPR di Kairo Mesir, Selasa (27/11) waktu Kairo. Banyaknya demonstran memaksa kendaraan yang kami tumpangi menuju gedung Parlemen Mesir berputar haluan. Beruntung tak ada bahaya yang menghampiri kami.
Mayoritas pengunjuk rasa adalah pemuda mahasiswa yang menolak dekrit Presiden Muhammad Mursyi. Bagi pengunjuk rasa, dekrit Mursyi inkonstitusional dan hanya bertujuan melanggengkan kekuaasan Mursyi.
Mereka meneriakan yel-yel anti-Mursyi sembari mengibarkan bendera Mesir. “Syaab yuriid isqaath an-nidham (rakyat ingin menurunkan pemerintah),” teriak para demonstran, Selasa.
Menjelang malam hari, suasana di Tahrir semakin ramai. Warga Mesir yang pada siang hari sibuk bekerja turut membaur dengan pengunjuk rasa. Namun tak semua datang untuk berujuk rasa.
Banyak juga yang ke Tahrir sepulang kerja hanya ingin sekadar melihat-lihat suasana. Beberapa kali saya mendapati pemuda-pemudi Mesir asyik menyaksikan demonstrasi sembari berfoto ria.
Di sekitar para demonstran juga banyak masyarakat Mesir yang mencoba mencari peruntungan. Mereka menggelar lapak dagangan menjajakan buah, pakaian, bendera Mesir, dan aneka barang khas Mesir. Sekilas, bila dilihat tanpa tendensi politis, suasana malam di Tahrir lebih mirip pesta karnavalnya rakyat Mesir.
“Unjuk rasa hari ini berbeda dengan unjuk rasa menurunkan Mubarok,” kata Amir mengakhiri obrolan.