REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Ada wisatawan baru di Damaskus, yaitu, keluarga-keluarga yang melarikan diri dari kekerasan yang terjadi di kampung halaman mereka, kini memilih tinggal di hotel, berdesakan di kamar yang sempit, bahkan memasak di kamar mandi.
Sejak konflik terjadi Maret 2011, sekitar 4,2 juta warga Suriah mengungsi ke berbagai tempat di dalam negeri sementara lebih dari dua juta orang lainnya mengungsi ke negara lain yang oleh badan pengungsi PBB digambarkan sebagai bencana kemanusiaan yang memalukan.
Di sebuah hotel murah yang terletak di kawasan pekerja di Marjeh, Hana mengenang kembali rumah besarnya yang terbuat dari batu basal di daerah tua Homs--kota ketiga terbesar di Suriah yang dihantam bencana perang.
"Ada terasnya yang cantik, banyak jendela untuk melihat ke jalan di luar. Saya diberitahu rumah itu sudah hancur sama sekali," katanya, sambil tersendat oleh air mata, sementara putra-putrinya melihatnya.
Hana kehilangan suaminya pada saat perang mulai berkecamuk yang diawali dengan penentangan sekelompok masyarakat terhadap rejim Bashar al-Assad dan kemudian menjadi konflik bersenjata.
Suaminya diculik dan dibunuh
Selama lebih dari dua tahun, janda berusia 30-an itu telah pindah-pindah di tiga hotel. Selama tujuh bulan ini ia sudah menempati kamar hotel terakhir dengan empat tempat tidur yang berdesakan di depan televisi.
Di sudut ruang terlihat kopor, satu-satunya benda yang bisa dibawa ketika mereka melarikan diri dari konflik yang mematikan di Homs. "Kami menghabiskan waktu sepanjang hari untuk menonton televisi atau memasak," ujarnya.
"Lihatlah dapur saya," ia menunjuk kompor kecil berkarat. Di kamar lain, kertas dindingnya memudar karena terus menerus diterpa sinar lampu neon dan lembab oleh alat penyejuk udara.
Hotel tersebut biasanya penuh dengan wisatawan peziarah dari Iran yang berbondong-bondong mengunjungi tempat suci Syiah, Sayyida Zeinab di Ibu kota Suriah.
Tetapi kini, orang-orang yang melarikan diri dari Homs bercampur dengan mereka yang datang dari Damaskus, menghuni 40 kamar hotel tersebut, kata petugas hotel.
Hana mengatakan, kadang-kadang ia meminjam mesin cuci dari tetangga yang mengungsi dari Harasta, pinggiran Damaskus yang juga menjadi medan pertempuran pasukan pemerintah dan gerilyawan.
"Suami saya seorang sopir taksi di Homs dan bisa memperoleh pendapatan yang bagus untuk hidup, saya tidak ingin apa-apa," katanya dengan senyum murung.
Seorang perempuan membantunya sebelum meninggalkan Suriah dan Hana kini sama sekali tidak memiliki sumber penghasilan. "Saya hutang ke hotel ini selama tiga bulan," katanya.
Anak gadisnya berumur 16 dan anak laki-lakinya bekerja menyiapkan bara untuk pipa air di sebuah kafe di dekat hotel.
Bagi orang-orang yang terlantar, perasaan kehilangan adalah yang paling menyakitkan. "Saya punya sebuah toko menjual telepon genggam. Sekarang, ketika kami meminta bantuan, kami merasa seperti pengemis," kata Abu Amer, yang tinggal di hotel yang sama selama satu setengah tahun.
Tarip hotel dimurahkan, bahkan membebaskan orang-orang yang kehilangan rumah, tetapi mereka harus juga mencari pendapatan untuk menutup biaya.
"Kami dulu harus membayar 25.000 pound Suriah sebulan, sekarang naik jadi 30.000 pound, karena harga minyak juga naik," kata Abu Amer.
Orang-orang itu mengaku lebih memilih gaya hidup tersebut ketimbang menjadi pengungsi. "Setidaknya kami ada di negara sendiri."