REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Unjuk rasa terus berlangsung di Xinjiang, Cina. Kelompok advokasi Muslim Uyghur meminta Pemerintah Cina mengizinkan digelarnya peradilan independen atas pembunuhan delapan Muslim Uighur oleh dua anggota polisi.
Pemerintah Xinjiang harus sepenuhnya membuka semua informasi yang terungkap Senin (30/12) lalu. Kelompok itu juga meminta otoritas Xijiang mengizinkan investigasi independen dilakukan badan internasional Kongress Dunia untuk Uighur (WUC).
WUC yang bermarkas di Munich telah mengeluarkan pernyataan seperti yang dikutip AFP, Selasa (31/12). WUC mendesak Pemerintah Cina mengizinkan masuknya media asing dan perwakilan pemerintah ke negara bagian Shache untuk menjamin tranpasransi proses hukum yang sedang berjalan.
WUC sebenarnya sudah meminta untuk masuk setelah Badan Keamanan Cina mengumumkan pembunuhan delapan Muslim Uighur. Badan keamanan mengatakan warga Uighur itu tewas setelah polisi mempertahankan diri dari serangan mereka di Kantor Polisi Schache.
Otoritas setempat mengklaim sembilan penyerang mempersenjatai diri mereka dengan pisau dan peledak. Mereka menyerang kantor dan membakar kendaraan kepolisian. Kantor berita Xinhua melansir, Beijing mengatakan serangan itu merupakan teror terorganisir.
WUC menyebut kejadian itu sebagai episode lain mengusik kedamaian minoritas. ''Insiden ini menjadi bukti mulai marak kembali kekerasan yang disponsori pemerintah terhadap warga Uighur. Mereka ditembaki dan dibunuh, dilabeli sebagai teroris, lalu pemerintah menggunakan aturan anti terorisme atas pembunuhan terhadap mereka,'' kata Presiden WUC Rebiya Kadeer.
Tewasnya Muslim Uighur Schache bukan yang pertama kali bulan ini. Pada 15 Desember, polisi Cina juga menembak mati 14 orang di provinsi mayoritas Muslim, Xinjiang. Kejadian ini memicu gelombang protes minoritas Muslim di Cina.
Muslim Uighur berjumlah 10,1 juta jiwa dan bermukim di baratdaya wilayah Xinjiang. Warga Muslim di sana berbicara dalam bahasa Turki. Xinjiang, yang juga sering disebut Turkistan, telah menjadi wilayah otonom sejak 1955 namun masih terus mengalami tekanan keamanan oleh Ototritas Cina.
Kelompok hak asasi manusia menuding Pemerintah Cina melakukan tindakan represi agama atas Muslim Uighur di Xinjiang atas nama aksi melawan terorisme. Dicap teroris, Muslim Uighur terus bertahan bertahun-tahun di tengah tekanan pemerintah. ''Cina meningkatkan tekanan dan
kekerasan terhadap warga Turkistan Timur karena tak bisa membantai habis mereka akibar diawasi dunia,'' kata Ketua Lembaga Pendidikan dan Solidaritas Turkistan Timur, Hidayet Oguzhan seperti yang dikutip Anadolu Agency (AA).
Warga Uighur bahkan mengalami tekanan lebih besar pasca Presiden Cina Xi Jinping berkuasa. Oguzhan menilai warga Uighur tak lagi bisa menoleransi itu.
Xinjiang (Turkistan Timur) terletak di wilayah geografi startegis dan kaya akan sumber daya. Wilayah dekat Asia Tengah ini merupakan wilayah yang luas dekat dengan cadangan minyak dan gas yang besar.
''Topografi Turkistan Timur merupakan penghalang alami menahan ancaman eksternal. Posisi geostrategisnya memungkinkan Cina untuk melakukan ekspansi ke Eurasia,'' kata perwakilan Asosiasi Akademisi Turki Prof Dr Erkin Ekrem.